Foto Satelit Perlihatkan China Hancurkan Ribuan Masjid dan Makam Muslim di Xinjiang

  • Share

Sampai satu dekade lalu, peziarah akan berkunjung menggunakan bus, mobil, keledai, dan jalan kaki untuk berkumpul bersama ribuan peziarah lainnya di Makam Imam Asim di pinggiran wilayah perbatasan barat China.

Mereka tertatih-tatih melewati gurun pasir untuk bersimpuh di situs suci yang didekasikan untuk Imam Asim, ulama muslim yang membantu mengalahkan kerajaan Buddha yang berkuasa ribuan tahun lalu. Para peziarah ini adalah Uighur, etnis minoritas muslim terbanyak, dan kerap bergabung dalam festival tahunan untuk mendoakan agar panen berlimpah, kesehatan yang baik, dan anak-anak yang kuat.

Mereka mengikatkan kain yang berisi doa-doa ke tiang-tiang kayu sekitar dan dekat makam. Mereka bergembira dengan berbagai acara yang diadakan di mana para pesulap, pegulat, dan musisi menghibur para peziarah. Mereka berkumpul di sekitar pencerita yang mengisahkan kisah-kisah kuno.

“Tak hanya ziarah. Ada para penghibur, permainan, makanan, papan jungkat jungkit untuk anak-anak, pembacaan puisi, dan seluruh area untuk mengisahkan cerita,” kata seorang profesor di Middlebury College, Tamar Mayer, yang mengunjungi Makam Imam Asim untuk penelitian pada 2008 dan 2009.

“Saat itu masih penuh masyarakat, dan penuh kehidupan,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Senin (28/9).

Sampai kemudian pihak berwenang mencoba membatasi keramaian di makam tersebut dengan menempatkan titik pemeriksaan. Pada 2014, peziarah hampir seluruhnya dilarang. Dan pada akhir tahun, banyak masjid dan makam dihancurkan.

Pagar kayu dan tiang yang mengelilingi makam tersebut dan memuat kain-kain bertuliskan doa para peziarah dihancurkan. Seluruh yang tersisa hanya bangunan batu bata lumpur yang menandai makam Imam Asim, yang tampaknya masih utuh di tengah reruntuhan.

Penghancuran 8.500 Masjid

masjid

Pihak berwenang China dalam beberapa tahun terakhir telah menutup dan menghancurkan banyak makam-makam besar, masjid-masjid, dan situs-situs suci lainnya di seluruh Xinjiang yang sejak lama mempertahankan budaya dan kepercayaan Islam di wilayah muslim tersebut.

Upaya untuk menutup dan menghapus situs-situs ini adalah bagian kampanye lebih luas China untuk mengubah wilayah Uighur, Kazakh, dan anggota kelompok etnis Asia Tengah menjadi pengikut setia Partai Komunis. Asimilasi ini mengarah pada penahanan ratusan ribu warga ke pusat-pusat indoktrinasi.

Laporan baru oleh Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI), sebuah organisasi penelitian berbasis di Canberra, secara sistematis memperhitungkan tingkat penghancuran dan peralihan situs-situs suci dalam beberapa tahun terakhir. ASPI memperkirakan sekitar 8.500 masjid seluruh Xinjiang telah benar-benar dihancurkan sejak 2017 – lebih dari sepertiga jumlah masjid yang disebutkan pemerintah ada di wilayah tersebut.

“Apa yang ditunjukkan adalah sebuah kampanye penghancuran dan penghapusan yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Revolusi Budaya,” jelas peneliti ASPI yang memimpin analisis, Nathan Ruser.

Selama kekacauan panjang yang berlangsung dari 1966 di bawah Mao Zedong, banyak masjid dan situs religius lainnya dihancurkan.

ASPI mengumpulkan sampel acak 533 masjid terkenal di seluruh Xinjiang, dan menganalisis citra satelit setiap situs yang diambil dalam waktu berbeda untuk melihat perubahannya. ASPI juga meneliti makam-makam, kuburan, dan situs suci lainnya melalui sebuah sampel dari 382 lokasi diambil dari suvei yang disponsori pemerintah dan catatan online.

Bantahan China

Pemerintah China membantah laporan penghancuran situs religius, menyebutnya “sepenuhnya omong kosong” dan mengatakan pihaknya menghargai perlindungan dan perbaikan masjid-masjid.

Para pejabat China menuding ASPI bertujuan untuk memfitnah China, dan menuding didanai pemerintah AS karena bukti temuan mereka bias. ASPI membantah tudingan tersebut, mengatakan penelitian mereka benar-benar independen dari penyandang dana.

Pihak berwenang telah memberlakukan pengawasan ketat pergerakan di Xinjiang dan mengekang aliran informasi keluar dari wilayah tersebut, membuatnya menjadi sebuah tantangan untuk menentukan skala penghancuran di lapangan.

The New York Times memverifikasi banyak rincian dari laporan ASPI dengan meneliti citra satelit dan mengunjungi situs-situs di seluruh Xinjiang selatan tahun lalu.

“Apa yang kami saksikan di sini adalah penghancuran sewenang-wenang situs-situs yang menjadi warisan warga Uighur dan warisan tanah ini,” kata pakar musik dan budaya Uighur Universitas London, Rachel Harris, yang mengkaji laporan tersebut.

Banyak dari makam dan kuburan baru-baru ditutup pemerintah atau diruntuhkan merupakan perwujudan tradisi Islam beragam warga Uighur. Peziarah mengunjungi makam, yang dalam bahasa lokal disebut “mazar”, dengan membawa persembahan makanan, tanduk kambing, dan hewan untuk menunjukkan kesalehan, atau boneka berbusana sebagai wujud harapan mereka akan anak-anak yang sehat. Beberapa peziarah menghabiskan berminggu-minggu perjalanan mengunjungi situs suci yang satu ke situs suci lainnya.

Makam besar biasanya merupakan makam para imam, pedagang, dan tentara yang menyebarkan Islam di wilayah itu selama lebih dari seribu tahun lalu. Beberapa di antaranya membangun kompleks yang megah dan dibangun kembali selama berabad-abad. Tetapi pohon atau tumpukan batu juga bisa berfungsi sebagai makam, sebagai tanda bagi penduduk desa.

Penutupan dan Larangan

larangan

Di Ordam, makam terkenal di Xinjiang selatan, peziarah telah berkumpul lebih dari 400 tahun untuk merayakan kehadiran pemimpin yang membawa Islam ke wilayah itu dan melawan kerajaan Buddha.

“Jika Anda memiliki seekor keledai dan sebuah gerobak, Anda memuat makanan dan Anda menghabiskan tiga pekan untuk sampai ke makam,” kata peneliti Universitas Nottingham, Rian Thum, yang meneliti Ordam dan makam lainnya serta agama mereka.

“Tempat di mana saya hanya pernah melihat seorang pria Uighur dewasa menangis adalah di makam,” imbuhnya.

Tapi pada 1990-an, pemerintah China makin khawatir atas perluasan masjid-masjid dan makam di Xinjiang. Para pejabat memandang berkumpulnya para peziarah sebagai penyulut bagi pengabdian dan ekstremisme agama yang tidak terkendali, dan serentetan serangan antipemerintah oleh orang Uighur yang tidak puas membuat pihak berwenang gelisah.

Pihak berwenang melarang festival dan ziarah di Ordam pada tahun 1997, dan tempat suci lainnya ditutup pada tahun-tahun berikutnya.

Tetap saja, beberapa pengunjung dan turis terus berdatangan untuk berkunjung.

“Seorang Uighur yang berhasil mengunjungi Ordam mengatakan kepada beberapa penduduk desa terdekat bahwa dia pernah, dan mereka mulai menangis dan satu lagi meminta sedikit debu dari jaketnya,” kenang Mr. Thum. “Ini memberi kesan betapa pentingnya tempat ini bagi orang-orang, bahkan ketika mereka tidak dapat berkunjung.”

Penutupan dan larangan kunjungan ke makam sebelumnya merupakan awal dari kampanye yang lebih agresif oleh pemerintah.

Pada awal 2018, makam Ordam, terisolasi di wilayah terpencil dan hampir 50 mil dari kota terdekat, telah diratakan, penghancuran salah satu warisan paling penting Uighur. Citra satelit dari waktu itu menunjukkan masjid di makam itu, ruang salat, dan rumah sederhana di mana penjaga tinggal diruntuhkan. Tak ada kabar apa yang terjadi dengan jambangan raksasa di mana para peziarah meninggalkan daging, gandum, dan sayuran yang dimasak penjaga menjadi hidangan berkat.

“Anda melihat kenyataan dan apa yang tampaknya merupakan upaya sadar untuk menghancurkan tempat-tempat yang penting bagi Uighur, justru karena mereka penting bagi Uighur,” jelas Thum.

Masjid Diubah Jadi Bar

Dalam beberapa kasus, pemerintah menghancurkan masjid atas nama pembangunan. Ketika wartawan The New York Times mengunjungi kota Hotan di selatan Xinjiang tahun lalu, kami menemukan sebuah taman baru di mana gambar satelit menunjukkan telah ada masjid hingga akhir 2017.

Kami menemukan empat situs lain di kota tempat masjid pernah berdiri yang sekarang menjadi taman baru atau sebidang tanah kosong, dan satu masjid yang setengah roboh. Masjid pusat utama di Hotan tetap ada, meski hanya sedikit orang yang hadir, bahkan untuk salat Jumat.

Di Kashgar, kota besar di selatan Xinjiang, hampir semua masjid di pusat kota tampak tertutup, dengan perabotan ditumpuk di dalam, berdebu. Satu masjid telah diubah menjadi bar.

“Sepertinya saya kehilangan anggota keluarga di sekitar saya karena budaya kami diambil,” kata Mamutjan Abdurehim, seorang mahasiswa pascasarjana Uighur dari Kashgar yang sekarang tinggal di Australia dan telah mencari informasi tentang istrinya di Xinjiang.

“Ini seperti bagian dari daging kita, tubuh kita, sedang dibuang.”

Tidak semua situs religius dihancurkan. Beberapa tempat sekarang menjadi tempat wisata resmi, dan tidak lagi berfungsi sebagai situs ziarah, seperti Mausoleum Afaq Khoja yang terkenal di Kashgar. Pemakaman Uighur yang luas di tepi Kashgar sejauh ini bertahan dan keluarga berhenti untuk merapikan kuburan dan berziarah.

Orang Uighur mencatat bahwa tempat suci telah dihancurkan dalam beberapa dekade sebelumnya, kemudian dibangun kembali, dan mereka dapat bangkit kembali. Tapi mereka gentar dengan skala pemberantasan baru-baru ini.

“Intensitas tindakan keras ini cukup mengejutkan,” kata Abdurehim.

“Banyak orang Uighur yang ingin berharap cukup pesimis, termasuk saya.”

Artikel asli : merdeka.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *