Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30S PKI masih menyisakan luka.
Diketahui, banyak yang menjadi korban dalam peristiwa yang menjadi sejarah kelam ini.
Diketahui, keberadaan Cakrabirawa yang merupakan Pengawal kehormatan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno Tak lepas dari peristiwa kelam yakni Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30S PKI.
Pasukan inilah yang melakukan penjemputan, penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal TNI.
Kisah berikut ini diceritakan Sulemi, mantan anggota Cakrabirawa penjemput Jenderal AH Nasution yang diwawancarai Tribun Jateng pada akhir 2017 silam.

Saat itu Sulemi sudah berusia 77 tahun.
Nyaris seluruh rambutnya memutih. Tubuhnya tinggi kurus. Kulitnya penuh garis keriput. Tapi aura prajuritnya tak hilang.
Badannya masih tegap. Bicaranya tegas, terutama saat berujar apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Sulemi bagian dari pasukan elit Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa.
Posisi yang ia raih dengan susah payah melalui rangkaian seleksi ketat.
Ia pun sempat mencicipi manisnya jabatan yang telah membumbungkan kehormatannya dan keluarganya saat itu.
Tentunya, itu sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Hingga malam jahanam itu merenggut segalanya itu darinya.
Kehormatan yang ia raih berbalik jadi penistaan.
Fasilitas manis berubah siksa sadis yang harus ia derita selama di penjara.
Sulemi pun harus menanggung stigma dan memori buruk selama di penjara, seumur hidupnya.
Sore itu, Sulemi masih mengenakan baju koko lengkap dengan kopyah putih.
Gema suara azan sampai ke ruang tamunya yang berhimpitan dengan musala.
Sulemi tak gentar menceritakan kembali peristiwa 65 yang dialaminya.
Tapi untuk urusan ini, Sulemi tak main-main.
Ia mengawali pembicaraannya dengan berucap sumpah kepada Yang Maha Kuasa.
Bahwa, apa yang keluar dari mulutnya nanti, adalah sesuai dengan yang ia lihat, lakukan dan alami saat peristiwa 65 terjadi.
Ia tak mau menghancurkan generasi penerus dengan memutarbalikkan fakta sejarah.
“Kalau dikira saya mengarang, saya sebagai muslim bersumpah di hadapan Allah, apa yang saya katakan ini sesuai yang saya lihat, dan lakukan.”
“Dalam Habluminallah, saya akan dimintai pertanggungjawaban Allah. Kalau saya bicara melenceng, akan menghancurkan generasi penerus,” tegasnya saat ditemui Tribun Jateng di kediamannya, akhir tahun 2017 lalu.
Awal September 1965, seluruh anggota Cakrabirawa dikumpulkan.

Komandan Batalyon 1 Kawal Kehormatan Kolonel Untung bin Syamsuri memberitahukan situasi negara yang sedang gawat.
Karena itu, seluruh anggota diperintahkan untuk konsinyasi (siaga) untuk menghadapi kemungkinan kudeta oleh para perwira Angkatan Darat (AD) pada tanggal 5 Oktober.
28 September 1965, dalam sebuah apel besar, seluruh anggota kembali dikumpulkan untuk persiapan kegiatan 30 September malam.
Mereka diberitahu perihal jenderal-jenderal yang diisukan akan meng-kudeta presiden.
Mendengar instruksi itu, yang ada dibenak Sulemi sebagai prajurit, negara berada dalam situasi yang genting.
Ada usaha untuk menggulingkan pemimpin besar revolusi.
Sementara ia juga anggota pengawal presiden yang lain mengemban tugas untuk melindungi keselamatan presiden dan keluarganya.
Sang prajurit tak pikir panjang. Tak mungkin ia membangkang perintah atasan.