Putusan MK, Jokowi Harus Putuskan Status Pandemi Selesai atau Tidak dengan Batas Akhir 2021

  • Share

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengumumkan pandemi Covid-19 selesai atau belum pada akhir tahun kedua sejak undang-undang penanganan pandemi dikeluarkan.

Ketua MK Anwar Usman mengatakan, pengumuman tersebut akan menentukan apakah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) akan tetap berlaku atau tidak.

Hal itu tertuang dalam Pasal 29 pada lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang sudah direvisi oleh MK.

Dalam revisi itu disebutkan bahwa UU Nomor 20 Tahun 2020 hanya berlaku selama dua tahun saat Presiden Joko Widodo mengumumkan pandemi Covid-19 telah berakhir.

Adapun jika dihitung, maka tahun kedua berlakunya UU tersebut akan jatuh pada akhir tahun 2021.

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun kedua,” kata Anwar dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Kamis (28/10/2021).

Namun, apabila pada akhir tahun 2021 pandemi belum usai, UU tersebut masih tetap berlaku.

Akhir tahun ini

Undang-undang ini digugat ke MK oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika).

Kuasa hukum pihak pengguat, Violla Reininda, mengingatkan pemerintah bahwa UU terkait penanganan pandemi itu hanya berlaku sementara.

“UU ini tidak berlaku permanen dan terbatas waktu sepanjang penanganan COVID-19,” ujar Viola saat dihubungi pada Sabtu siang.

Viola juga menilai bahwa batas waktu pandemi berakhir pada tahun kedua dapat diartikan pada akhir 2021.

” Jadi Presiden mesti mengumumkan kepastian status darurat Covid-19 maksimal akhir tahun ini, apakah memperpanjang masa krisis/darurat atau dicabut,” ujar dia.

Adapun Pasal 29 sebelumnya menyatakan, “Peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”

MK menyatakan, ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat tahun akhir tahun kedua. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir sebelum memasuki tahun ketiga Undang-Undang a quo masih dapat diberlakukan. Namun, pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.”

Selain itu, dalam putusannya, MK merevisi Pasal 27 Ayat 1 yang awalnya berbunyi:

“Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah kebijakan pembiayaan kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.

Setelah direvisi menjadi:

“Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Mahkamah dalam putusannya menilai kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 Ayat 1 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan telah menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum.

Karena itu, demi kepastian hukum, norma Pasal 27 Ayat 1 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

“Penempatan frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ dalam pasal tersebut dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang putusan.

MK juga mengubah Pasal 27 Ayat 3 dalam UU 2/2020 juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakukan yang sama.

Pasal itu berbunyi:

“Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”

Ketentuan tersebut diubah oleh MK menjadi:

“Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan itikat baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Artikel asli : kompas.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *