3 Aktivis di Kaltim Disebut Positif Covid-19 Tanpa Bukti Hasil Pemeriksaan Swab, Dipaksa Isolasi

  • Share

Tiga aktivis di Samarinda, Kalimantan Timur, disebut positif Covid-19 oleh Satgas Covid-19 Samarinda tanpa menunjukkan bukti hasil pemeriksaan swab tenggorokan, Jumat (31/7/2020).

Ketiganya dijemput paksa di Kantor Walhi Kaltim di Jalan Harva, Samarinda, dan diminta menjalani isolasi di Rumah Umum Daerah (RSUD) IA Moeis Samarinda.

Padahal, ketiganya tidak menunjukkan gejala seperti orang terjangkit Covid-19.

Ketiganya adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Timur, Yohana Tiko dan dua pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda yakni Fathul Huda Wiyshadi dan Bernand Marbun.

Tiko menceritakan awalnya, pada Rabu (29/7/2020) sore sekitar 16.00 Wita, datang beberapa petugas yang mengaku dari Dinas Kesehatan Samarinda ke Kantor Walhi Kaltim dan Pokja 30 Kaltim.

Kebetulan kedua kantor ini berdekatan di Jalan Harva, Samarinda.

Kepada penghuni di dua kantor ini, petugas tersebut mengutarakan niatnya melakukan tes swab tenggorokan dengan metode polymerase chain reaction (PCR).

“Terus kami tanya, kenapa dua kantor ini saja yang disasar. Mereka bilang dua kantor ini jadi random sampling tes swab. Karena ada klaster di sekitar sini,” ungkap Tiko di Samarinda, Sabtu (1/8/2020).

Tes swab PCR kemudian dilakukan bagi seluruh penghuni di dua kantor tersebut, termasuk beberapa di antaranya jurnalis yang juga berada di kantor tersebut.

Keesoknya, Kamis (30/7/2020), sekitar 15.00 Wita, datang lagi petugas Satpol PP, Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda dan petugas Dinkes untuk menyemprot disinfektan.

“Mereka semprot kantor tapi sambil mencari orang. Masuk juga petugas Satpol PP ke dalam kantor. Kita enggak tahu siapa yang dicari di kantor,” lanjut Tiko.

Esoknya, Jumat (31/7/2020), datang lagi beberapa personel polisi, Satpol PP, petugas BPBD Samarinda, lurah serta ketua RT 33 menjemput Tiko, Fathul dan Bernand untuk isolasi di RSUD IA Moeis.

Ketiga orang disebut positif Covid-19. Sedangkan orang lain yang ikut di-swab tenggorokannya, dinyatakan negatif.

Padahal setiap harinya ada anggota Walhi dan Pokja 30 Kaltim yang juga sama-sama berinteraksi dan kontak erat dengan ketiga orang yang disebut positif tersebut.

“Kami tanya, mana hasil tes swab kami. Mereka tidak tunjukan, tapi malah memaksa kami harus ke rumah sakit dengan marah-marah,” jelas Tiko.

Sore itu, kata Tiko, berkumpul sebagian warga yang di depan kantornya. Dia tak tahu persis warga tersebut merupakan warga sekitar atau bukan.

Khawatir Muncul Gejolak
Ketiganya kemudian mengikuti keinginan para petugas tersebut ke RSUD IA Moeis dengan syarat setelah sampai di sana diberi hasil tes swab.

“Begitu sampai di RSUD IA Moeis mereka tetap tidak menunjukkan hasil tes itu. Bahkan, satu persatu dari mereka justru menghilang usai kami di-drop. Kami justru ditelantarkan di depan RSUD,” terang Tiko.

Hingga malam hari ketiga aktivis ini kemudian dijemput oleh rekan mereka dan kini sedang berada di salah satu safe house (rumah aman) di Samarinda.

Fathul menambahkan, sejak awal dilakukan tes swab dan penjemputan ada banyak keanehan.

Para petugas juga tak menggunakan alat pelindung diri lengkap, terkesan tidak sesuai standar.

Karena sebagian dari mereka hanya menggunakan masker dan pelindung muka (face shield). Bahkan, permintaan menunjukkan identitas pun tak dilakukan.

“Beberapa dari mereka saya pegang juga enggak ada masalah, kan katanya saya positif Covid-19,” tutur Fathul.

“Jadi memang banyak keanehan. Mereka semprot Kantor Walhi tapi sambil marah-marah. Kami dibentak-bentak. Dia bilang jangan sembunyikan orang. Kami binggung siapa yang kami sembunyikan,” sambung dia.

Bernand menambahkan, sejak awal tak pernah diberitahu positif baik lisan maupun tertulis. Bahkan informasi soal positif Covid-19 didengar dari rekannya.

“Saya justru diberitahu oleh rekan saya. Mereka datang langsung semprot. Mereka sambil geledah juga kantor. Nampaknya mencari seseorang. Kalian enggak usah sembunyikan orang,” kata Bernand menirukan petugas saat semprot Kantor Walhi.

Diketahui Fathul dan Bernand memang sering berada di Kantor Walhi dan Pokja 30 Kaltim karena sering menangani perkara yang diadvokasi kedua LSM tersebut.

Keanehan lain, jelas Bernand, mereka dipaksa harus menjalani isolasi di RSUD IA Moeis padahal ketiganya tak memiliki gejala sakit.

“Kalau pun benar, kami positif, kenapa kami dipaksa harus isolasi di RS. Padahal sesuai OTG kan isolasi mandiri,” tandasnya.

Hal tersebut diatur dalam revisi terbaru tata laksana pasien terkonfirmasi positif Covid-19, apabila tanpa gejala harus menjalani isolasi mandiri selama 10 hari di rumah maupun fasilitas publik yang disiapkan pemerintah.

“Tambah aneh lagi setelah kami ke RSUD IA Moeis, petugas di RSUD itu malah enggak tahu kami positif Covid-19 atau enggak. Mereka juga enggak punya data,” tegas Bernand.

Karena semua keanehan tersebut, ketiga aktivis ini menduga ada kepentingan lain menggunakan isu Covid-19 untuk membungkam perjuangan demokrasi dan HAM.

“Kami menduga ini ada kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang kami advokasi saat ini,” sebut Tiko.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Samarinda, Osa Rafshodia berdalih ada aspek sosial yang jadi pertimbangan  meminta ketiga aktivis tersebut diisolasi di rumah sakit.

“Pandemi ini bukan hanya soal kesehatan, tapi ada aspek sosial dan lainnya,” ungkap Osa saat dihubungi.

Osa tidak mendetailkan alasan aspek sosial yang dimaksud dan meminta wawancaranya diakhiri.

Sumber: kompas.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *