3 Aktivis di Kaltim Disebut Positif Covid-19 Tanpa Bukti Hasil Pemeriksaan Swab, Dipaksa Isolasi

  • Share

Fathul menambahkan, sejak awal dilakukan tes swab dan penjemputan ada banyak keanehan.

Para petugas juga tak menggunakan alat pelindung diri lengkap, terkesan tidak sesuai standar.

Karena sebagian dari mereka hanya menggunakan masker dan pelindung muka (face shield). Bahkan, permintaan menunjukkan identitas pun tak dilakukan.

“Beberapa dari mereka saya pegang juga enggak ada masalah, kan katanya saya positif Covid-19,” tutur Fathul.

“Jadi memang banyak keanehan. Mereka semprot Kantor Walhi tapi sambil marah-marah. Kami dibentak-bentak. Dia bilang jangan sembunyikan orang. Kami binggung siapa yang kami sembunyikan,” sambung dia.

Bernand menambahkan, sejak awal tak pernah diberitahu positif baik lisan maupun tertulis. Bahkan informasi soal positif Covid-19 didengar dari rekannya.

“Saya justru diberitahu oleh rekan saya. Mereka datang langsung semprot. Mereka sambil geledah juga kantor. Nampaknya mencari seseorang. Kalian enggak usah sembunyikan orang,” kata Bernand menirukan petugas saat semprot Kantor Walhi.

Diketahui Fathul dan Bernand memang sering berada di Kantor Walhi dan Pokja 30 Kaltim karena sering menangani perkara yang diadvokasi kedua LSM tersebut.

Keanehan lain, jelas Bernand, mereka dipaksa harus menjalani isolasi di RSUD IA Moeis padahal ketiganya tak memiliki gejala sakit.

“Kalau pun benar, kami positif, kenapa kami dipaksa harus isolasi di RS. Padahal sesuai OTG kan isolasi mandiri,” tandasnya.

Hal tersebut diatur dalam revisi terbaru tata laksana pasien terkonfirmasi positif Covid-19, apabila tanpa gejala harus menjalani isolasi mandiri selama 10 hari di rumah maupun fasilitas publik yang disiapkan pemerintah.

“Tambah aneh lagi setelah kami ke RSUD IA Moeis, petugas di RSUD itu malah enggak tahu kami positif Covid-19 atau enggak. Mereka juga enggak punya data,” tegas Bernand.

Karena semua keanehan tersebut, ketiga aktivis ini menduga ada kepentingan lain menggunakan isu Covid-19 untuk membungkam perjuangan demokrasi dan HAM.

“Kami menduga ini ada kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang kami advokasi saat ini,” sebut Tiko.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Samarinda, Osa Rafshodia berdalih ada aspek sosial yang jadi pertimbangan  meminta ketiga aktivis tersebut diisolasi di rumah sakit.

“Pandemi ini bukan hanya soal kesehatan, tapi ada aspek sosial dan lainnya,” ungkap Osa saat dihubungi.

Osa tidak mendetailkan alasan aspek sosial yang dimaksud dan meminta wawancaranya diakhiri.

Sumber: kompas.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *