Anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi’i menceritakan pengalaman ketika ikut membantu pengurusan jenazah enam Laskar FPI yang tewas dalam peristiwa di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, Senin (7/12) dini hari.
Politikus yang akrab disapa dengan panggilan Romo Syafi’i ini tidak sendiri. Dia datang ke RS Polri Kramat Jati bersama koleganya sesama legislator Partai Gerindra Fadli Zon, Selasa (8/12) sore hingga malam hari.
Dalam perbincangan dengan jpnn.com, Kamis (10/12), Romo Syafi’i menuturkan bagaimana proses pengambilan jenazah keenam Laskar FPI itu oleh pihak keluarga bersama pengacara. Termasuk momentum dirinya bersama Fadli Zon merasa dikibuli aparat kepolisian.
Awalnya, kata dia, pihak keluarga maupun FPI tahunya enam orang laskar tersebut diculik oleh OTK (Orang Tak Dikenal), sembari mencari tahu informasi keberadaan mereka.
Sampai kemudian ada pengumuman dari Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran yang menyebut terjadi kontak tembak-menembak di Tol Jakarta-Cikampek.
“Paling tidak orang itu (keluarga-red) berkesimpulan, berarti enam orang ini ditembak oleh aparat kepolisian. Tetapi tentu saja diksi tembak-menembak itu enggak masuk akal,” kata Syafi’i.
Masalah tembak-menembak dianggap tak masuk akal karena selain rombongan pengawal Habib Rizieq tidak mengedar ada tembakan, kesaksian warga di lokasi KM 50 Tol Jakarta-Cikampek juga mengaku tidak mendengar ada suara tembakan.
Berikutnya, Romo Syafi’i menceritakan upaya keluarga dan pengacara untuk melihat dan menjemput jenazah 6 Laskar FPI tersebut di RS Polri Kramat Jati. Termasuk dirinya bersama Fadli Zon ikut membantu proses penjemputan itu.
Romo Syafi’i menjelaskan bahwa pihak keluarga tidak mendapat berita apa pun dari pihak kepolisian. Namun setelah mendengar pengumuman Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, mereka baru tahu bahwa jenazah berada di RS Polri Kramat Jati.
“Maka mereka langsung ke sana malam itu juga. Sampai di sana, pengakuan mereka dengan pengacara, mereka diusir, tidak boleh berada di lokasi rumah sakit apa pun alasannya. Maka mereka kembali,” tutur politikus asal Sumatera Utara ini.
Syafi’i dan Fadli Zon baru terlibat membantu pengurusan jenazah di RS Polri setelah ada pemberitahuan dari pihak keluarga korban yang mengaku tidak punya akses apa pun terhadap jenazah.
“Akhirnya Pak Fadli Zon mengontak saya. Kami selesai salat Ashar berangkat ke rumah sakit bertemu dengan pengacara, dan orang tua korban yang sedikit pun tidak dapat akses apa-apa untuk melihat jenazah anak-anaknya,” jelas Syafi’i.
Sebagai anggota DPR yang punya hak konstitusional melakukan pengawasan, Syafi’i pun bertanya siapa yang bertanggung jawab di RS Polri terkait jenazah Laskar FPI.
Malam itu, dia bersama Fadli Zon dipertemukan dengan dua orang polisi berpangkat Kombes, di sebuah tempat makan persis di depan RS Polri Kramat Jati. Sayanya, kedua perwira menengah Polri itu mengaku tidak mengetahui apa-apa.
“Ya sudah, kita minta ketemu yang tahulah, saya bilang, karena kami mau tahu bagaimana prosesnya dan bagaimana kami bisa mengakses, termasuk keluarga,” tutur Syafi’i.
Beberapa lama kemudian, Syafi’i dan Fadli berkumpul dengan pihak keluarga korban. Saat itu, mereka diberitahu oleh perwira polisi tadi bahwa jenazah sedang diautopsi.
Mendengar hal itu, pihak keluarga langsung marah dan tidak terima. Sebab, mereka sudah membuat surat bertanda tangan yang isinya menyatakan tidak setuju jenazah Laskar FPI diautopsi.
“Mereka bilang, kami punya hak untuk autopsi. Keluarga bilang, ya kan kami keluarganya dan sudah bikin pernyataan dengan tanda tangan bahwa kami tidak setuju diautopsi, kenapa tetap diautopsi? Dan itu tidak dijawab oleh dua orang Kombes itu,” jelas Syafi’i.