Muhammad Hanif Alatas menjalani sidang eksepsi terkait kasus membuat onar karena menyiarkan hoax tes swab Habib Rizieq. Dalam eksepsinya, Hanif Alatas menyinggung soal pasal darurat zaman perang melawan Belanda.
Diketahui pria yang akrab disapa Habib Hanif itu didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Dalam eksepsinya, Hanif Alatas menyebut pasal tersebut diterbitkan semasa darurat.
Dalam eksepsinya, Hanif mengatakan Pasal 14 maupun Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana adalah ditujukan dalam konteks keadaan darurat, yaitu dalam konteks masuknya Sekutu yang diboncengi NICA untuk tujuan kembali menjajah Indonesia. Saat itu pasukan Sekutu dan NICA dengan sengaja menimbulkan kekacauan, para pelaku menyebarkan kebohongan dan menyebarkan mata uang asing sehingga pemerintah RI mengeluarkan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1/1946.
“Pasal 14 dan Pasal 15 tersebut adalah justru untuk menghadapi pengkhianat yang merupakan antek-antek penjajah, di mana para pengkhianat ini justru menikmati dan mengambil keuntungan dengan kondisi dijajah dan struktur sosial-ekonomi dan politik yang tidak adil yang diciptakan oleh para penjajah,” demikian tertulis dalam eksepsi yang diterima detikcom dari kuasa hukum Hanif Alatas seusai sidang, Jumat (26/3/2021)
Kuasa hukum Hanif Alatas menyampaikan eksepsi itu dibaca langsung oleh Hanif dalam persidangan. Namun sidang pembacaan eksepsi ini tidak terpantau baik secara langsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) maupun secara virtual di kanal YouTube PN Jaktim.
Dalam eksepsinya, Hanif menyampaikan latar belakang terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang diundangkan oleh Presiden Sukarno pada 26 Februari 1946 di Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia. Pada saat itu ibu kota Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Hanif menyampaikan perpindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta dikarenakan pada akhir 1945 situasi Kota Jakarta menjadi sangat kacau. Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) Belanda kembali membuka kantor di bawah kendali HJ van Mook. Belanda berkeras menguasai ibu kota Republik Indonesia kembali.
Tindakan penculikan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah pemimpin Republik yang baru seumur jagung kerap terjadi. Hanif lantas mempertanyakan mengapa jaksa mendakwanya menggunakan pasal darurat.
“Kita bisa saksikan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 ini diterbitkan pada tanggal 26 Februari 1946 ke Yogyakarta. Hal ini membuktikan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 untuk mengatasi kondisi darurat yang disebabkan oleh penjajah. Pertanyaan sekarang ini, apakah Indonesia dalam kondisi darurat perang? Apakah Indonesia dalam kondisi dijajah dan diinvasi sebagaimana kondisi tahun 1946?” ujar Hanif.
Justru Hanif mempertanyakan penggunaan pasal tersebut yang dikaitkan dengan situasi perang. Hanif mempertanyakan dengan siapa saat ini pemerintah berperang.