Ketegangan antara Israel-Palestina kembali memanas sejak Ramadhan lalu.
Beragam faktor melatarbelakangi ketegangan itu, termasuk di antaranya rencana pengusiran puluhan warga Palestina di kawasan Sheikh Jarrah.
Situasi kemudian semakin menegangkan setelah kelompok milisi Palestina Hamas menghujani wilayah Israel dengan rudal-rudal.
Meski tak banyak menimbulkan kerusakan dan korban, Israel membalas serangan itu dengan melakukan operasi militer di sejumlah wilayah.
Hasilnya, ratusan warga Palestina meninggal dunia dan ribuan lainnya luka-luka.
Namun, sampai saat ini negara-negara Arab belum melakukan langkah pasti dalam meredamkan konflik Israel-Palestina.
Mengapa negara-negara Arab diam?
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahmad Sahide mengatakan, diamnya negara-negara Arab karena memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap Amerika Serikat.
Padahal, AS memiliki lobi kuat Yahudi untuk menjaga politik luar negerinya, terutama dalam konflik Israel-Palestina.
Dengan kondisi itu, Palestina pun tidak memiliki dukungan politik dan strategi perjuangan yang kuat seperti Israel.
“Palestina tidak mempunyai strategi perjuangan seperti Yahudi dulu sewaktu awal menggagas untuk mendirikan negara Yahudi (Israel),” kata Suhedi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (16/5/2021).
“Orang-orang Yahudi saat itu melakukan penggalangan dana, mendekati negara-negara yang berpengaruh di kancah dunia,” sambung dia.
Sebagai informasi, berdirinya Liga Arab salah satunya bertujuan untuk mencegah negara Yahudi di Palestina.
Namun, organisasi itu kini banyak memiliki peran signifikan dalam upaya damai Israel-Palestina.
Sahide menuturkan, negara Arab kini harus mulai mengurangi ketergantungannya terhadap AS.
“Selagi AS menjadi negara superpower dan negara-negara Islam mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap Amerika, maka Israel akan terus-terusan melakukan aksi brutalnya terhadap warga Palestina,” jelasnya.
“Mengurangi tingkat ketergantungan tehadap AS tentu dimulai dengan mengembangkan sains, teknologi, dan ilmu pengetahuan,” sambungnya.
Ia menjelaskan, konflik Israel-Palestina tidak bisa diselesaikan dengan perang dan aksi militer.
Sebab, Israel merupakan salah satu negara dengan alat militer terbaik di dunia.
“Terbukti pilihan itu tidak efektif. Kalau pendekatan itu ya jelas kalah dari Israel yang didukung dengan teknologi tinggi,” kata dia.
“Perlu ada pendekatan lain dalam meresponsnya, soft diplomacy misalnya,” tutup dia.
Artikel asli : kompas.com