Kisruh tes wawasan kebangsaan (TWK) berujung pemecatan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sebagai bagian dari persekongkolan jahat. Arahan Presiden Joko Widodo pun diabaikan.
Dugaan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Namun tak disebutkan siapa pihak yang terlibat dugaan persekongkolan jahat tersebut.
“Ada persekongkolan jahat di balik tes wawasan kebangsaan tersebut,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers daring, Rabu (26/5).
Kurnia mengatakan tidak mungkin setiap kejadian hanya digerakkan oleh seorang pimpinan KPK, dalam hal ini Firli Bahuri.
“Pimpinan KPK kami yakin tidak bergerak sendiri. Ada pola yang terbentuk, ada kerja sama dengan kelompok tertentu,” tambah.
Kesimpulan tersebut diambil usai pihaknya mengamati sejumlah peristiwa yang terjadi selama polemik TWK bergulir.
Pertama, kata dia, menguatnya peran buzzer atau pendengung di media sosial yang mencoba mendegradasi gerakan para pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Kemudian, lanjut Kurnia, terdapat sejumlah peristiwa peretasan yang menimpa aktivis antikorupsi ataupun mantan pimpinan KPK yang menyuarakan hal serupa.
“Maka dari itu, ini pasti bukan kerja pimpinan atau lebih spesifik bukan kerja individu Firli Bahuri semata,” ucap Kurnia.
Pimpinan KPK telah berembuk dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengenai nasib 75 pegawai lembaga antirasuah yang tak lolos TWK untuk alih status jadi aparatur sipil negara (ASN).
Berdasarkan rapat di Gedung BKN pada Selasa (25/4) pagi hingga sore, para pimpinan KPK dan lembaga pemangku kepentingan lain memutuskan hanya 24 dari 75 pegawai KPK yang masih bisa dibina untuk alih status jadi ASN.
Kepala BKN menyatakan 51 pegawai KPK tak bisa jadi ASN karena tidak memenuhi penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan tim asesor. Penilaian meliputi tiga aspek yakni kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD ’45, NKRI, pemerintahan yang sah).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut 51 pegawai yang gagal TWK memiliki catatan merah. Menurutnya, mereka tak memungkinkan dibina untuk menjadi ASN.
Kesepakatan yang diputuskan tersebut menuai polemik lantaran Presiden RI Joko Widodo sempat meminta agar TWK tak dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK.
“Hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik pada individu atau institusi KPK dan tidak serta merta jadi dasar berhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes,” kata Jokowi, Senin (17/5).
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya atas uji materi UU Nomor Tahun 2019 pun menegaskan agar alih status ASN tak merugikan pegawai KPK.
Sejumlah pihak yang menaruh perhatian pada isu pemberantasan korupsi menyebut pemecatan 51 pegawai KPK sebagai bentuk pengabaian dan pembangkangan terhadap arahan Jokowi dan putusan MK.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai keputusan terkait 51 pegawai itu merupakan pengabaian terhadap arahan Presiden, putusan MK, hingga UU KPK.
“Dugaan saya, pengabaian terhadap keputusan MK, UU KPK, Peraturan Pemerintah No. 41/2020 tentang alih status pegawai KPK, lalu saran dan masukan presiden, adalah upaya pengabaian terhadap peraturan perundang-undangan demi kepentingan merusak KPK,” ujarnya.
Begitu pula pendapat ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar. Dia menyebut keputusan terkait 51 pegawai KPK sebagai bentuk pengabaian terhadap pidato Presiden.
“Sungguh saya merasa kasihan pak presiden @jokowi sudah pidato dengan gamblang, tetap saja dicuekin dan jadikan TWK sebagai alasan memecat,” ujar dia, dalam akun Twitter-nya @zainalamochtar, Selasa (25/5).
Ketua Umum Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-PBNU), Rumadi Ahmad, menyatakan pimpinan KPK harus menjelaskan kepada publik alasan utama tak meloloskan 51 pegawai KPK tersebut.
“Saya agak kaget dengan keputusan ini. Saya belum tahu argumentasinya, tapi seperti ada pembangkangan terhadap arahan presiden yang sudah sangat jelas,” katanya.
Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko merasa heran TWK KPK menjadi polemik. Dia beranggapan mekanisme tersebut sudah dilakukan beberapa lembaga negara lain selain KPK, namun tak pernah berpolemik.
Moeldoko mengatakan perlu ada skenario terhadap perbaikan bagi pihak-pihak yang wawasan kebangsaannya mendapat nilai kurang.
Infografis Jejak Pelemahan KPK Era Jokowi. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi)
|
Artikel asli : cnnindonesia.com