Hidup sebatang kara dan hidup di bawah garis kemiskinan, memaksa Mbah Samimem yang sudah tua renta untuk tetap bekerja, memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Untuk membuat dapur tetap ngepul, Mbah Samimem membuka jasa pijat, meski kondisi fisiknya sendiri semakin menurun.
Soal bayaran, Mbah Samimem tidak pernah menetapkan tarif. Hanya seikhlasnya, bahkan ia juga pernah hanya mendapat upah senilai Rp 1000.
Sungguh sebuah nominal yang tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
Padahal, melihat kondisi Mbah Samimem yang sudah senja, seharusnya para pengguna jasa pijat menjadikan ini sebagai ‘momen’ berbagi. Terlebih mengingat Mbah Samimem hidup sebatang kara, tidak memiliki tempat bertumpu.
Namun apa daya, Mbah Samimem tak bisa berbuat banyak. Jika harus menuntut, ia khawatir tak akan ada lagi pelanggan yang mau menggunakan jasanya.
Mbah Samimem sendiri, seperti dilansir today.line.me, memiliki tiga anak yang sudah berkeluarga yang memutuskan tinggal di Pare dan Tulungagung. Namun entah karena alasan apa, mereka enggan membawa ikut ibunya tinggal bersama, atau tidak, rutin menjenguknya.
Hal inilah yang membuat Mbah Samimem tak bisa membendung air matanya, saat menyatakan perasaan rindunya pada anak dan cucu-cucunya.
“Anak putuku ngendangi aku. Ora diendangi aku. (9 anak cucuku jenguk aku, aku nggak dijenguk),” ucap dia sambil menangis.
Beruntung, Mbah Samimem memiliki tetangga berhati mulia yang bersedia menjenguknya di setiap harinya seraya memberikan dia makanan.
“Bocah ler kali niku (anak yang di utara sungai),” tuturnya.
Artikel Asli : palingseru.com