Hidup sebatang kara dan hidup di bawah garis kemiskinan, memaksa Mbah Samimem yang sudah tua renta untuk tetap bekerja, memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Untuk membuat dapur tetap ngepul, Mbah Samimem membuka jasa pijat, meski kondisi fisiknya sendiri semakin menurun.
Soal bayaran, Mbah Samimem tidak pernah menetapkan tarif. Hanya seikhlasnya, bahkan ia juga pernah hanya mendapat upah senilai Rp 1000.
Sungguh sebuah nominal yang tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
Padahal, melihat kondisi Mbah Samimem yang sudah senja, seharusnya para pengguna jasa pijat menjadikan ini sebagai ‘momen’ berbagi. Terlebih mengingat Mbah Samimem hidup sebatang kara, tidak memiliki tempat bertumpu.
