Kekuasaan Allah tiada tara sehingga apa pun yang dikehendaki-Nya pastilah terjadi dengan sangat mudah. Namun nyatanya, Allah bisa berutang kepada hamba-hamba-Nya, benarkah demikian?
Hanif Luthfi dalam bukunya berjudul Utang: Antara Pahala dan Dosa menjelaskan, utang yang berpotensi pahala yang pertama adalah memberikan utang kepada Allah. Utang di sini merupakan ungkapan lain dari shadaqah.
Tentunya, dengan penyebutan istilah pinjaman ini akan timbul pertanyaan mengapa Allah menyebut sedekahnya seorang hamba sebagai sebuah pinjaman atau utang Allah. Para ulama telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa Allah menyebutnya sebagai pinjaman, bahwa pahala yang dijanjikan Allah atas sedekah manusia itu pasti akan diberikan.
Allah juga memberikan ganjaran bagi hamba-hamba-Nya yang memberikan pinjaman itu. Sebab, manusia sejatinya memiliki sikap kikir sehingga Allah perlu memberikan ganjaran atas kebaikan-kebaikan yang dilakukan seorang hamba.
Terdapat banyak sekali dalil Alquran yang menganjurkan manusia memberi utang kepada Allah SWT. Salah satunya adalah di dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 245 berbunyi: “Man dzalladzi yuqridhullaha qardhan hasanan fayudhaifahu lahu adh’afan katsiratan wallahu yaqbidhu wa yabsuthu wa ilaihi turja’un,”.
Yang artinya: “Barangsiapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan,”.
Selain itu, dalam Surah At-Taghabun ayat 17, Allah SWT berfirman: “In tuqridhullaha qardhan hasanan yudhaifhu lakum, wa yaghfir lakum wallahu syukurun halimun,”. Yang artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Mahamensyukuri, Mahapenyantun,”.