Belajar Ikhlas dari Mbah Illah, Juru Masak Santri Penghafal Al-Qur’an Patuk

  • Share

Ada hikmah di balik keikhlasan salah satu anggota keluarga besar Rumah Tahfidz di pelosok Gunungkidul, DIY. Tepatnya di Kapanewon Patuk, Rumah Tahfidz Nurul Qur’an telah bertahun-tahun menjadi tempat tinggal sekaligus tempat menghafal Al-Qur’an sekitar 70 santri dari latar belakang duafa.

Di tengah aktivitas puluhan santri saban hari, ada sosok Ibu Sartillah (46), yang akrab disapa Mbah Illah oleh para santri. Perawakannya sedang, tidak begitu tinggi, tidak begitu pendek, juga tidak begitu kurus.

Namun, tangan-tangannya sangat kuat ketika membawakan nasi sebaskom dengan berat lebih dari 10 kilogram untuk makan para santri.

Sudah hampir dua tahun Mbah Illah mengabdikan diri di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an. Setiap hari, Mbah Illah memasak untuk sekitar 70 santri yang bermukim di rumah tahfidz.

Setiap pukul tujuh pagi, Mbah Illah akan bersiap-siap berangkat dari rumahnya menuju Rumah Tahfidz Nurul Qur’an, tentunya dengan berjalan kaki, melewati jalan menanjak sekitar 600 meter.

Masakan Mbah Illah memang dikenal enak. Tak hanya santri, pengajar serta pengasuh juga selalu mengandalkan Mbah Illah untuk urusan konsumsi rumah tahfidz. Tidak hanya konsumsi harian, Mbah Illah juga memasak makanan saat ada acara. Sebelum memasak untuk para santri, Mbah Illah memang sudah hilir mudik bekerja di warung-warung makan semasa mudanya.

Mbah Illah juga pernah membuka jasa pesanan makan untuk acara-acara keluarga sampai membuka warung makan yang sempat laris selama enam bulan.

Santri penghafal Al-Qur'an di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk, Gunungkidul - (ist)
Santri penghafal Al-Qur’an di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk, Gunungkidul – (ist)

Warung makan sederhana yang sudah berjalan enam bulan itu rela Mbah Illah hentikan manakala pihak rumah tahfidz mencari seseorang yang bersedia memasakkan makanan santri.

Hati Mbah Illah terenyuh melihat para santri penghafal Al-Qur’an yang masih kecil-kecil. Akhirnya, Mbah Illah mengiyakan ajakan untuk memasak di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk. Ia pun mengaku senang, kini hidupnya juga lebih tenang karena tidak diburu-buru pembeli dengan harus memasak sejak sebelum Subuh.

“Warung saya itu laris, masakannya macam-macam, ada bandeng, lodeh, tongkol, segala sayur-sayur, telur, dan macam-macam, tapi yaitu, sakit saya sering kambuh karena capek. Kalau di sini kan paling masak pagi sampai siang saja, habis itu pulang. Saya juga bisa ikut ngaji di sini. Ya walaupun kalau pesangon sangat jauh dibandingkan buka warung, tapi hati lebih tenang, enggak sakit-sakitan lagi,” ujar Mbah Illah, mengisahkan perjalanannya dari buka warung sampai memilih memasak untuk para santri penghafal Al-Qur’an.

Artikel Asli : suara.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *