“Jiwa sosialnya besar. Saat mau ada kegiatan sadran, dia duluan menyumbang. Orang lain belum,” kata Nartono.
Bekerja membuat gula kelapa sudah dilakoninya sejak masih bujang. Hingga menikah dengan Mujikem ia dikenal mampu memanjat 20 pohon di kebun miliknya setap hari. Namun Sonto terkena musibah jatuh dari pohon.
“Saat itu Sonto berniat memotong dahan pohon waru yang menumpang pada dahan pohon mangga. Dia nekat memotong padahal sudah diingatkan bahwa daya tolak dahan pohon bisa berbahaya. Sonto tak menghiraukan, pas sekali tebas dahan langsung patah dan pohon langsung tegak. Dia terlempar melewati pohon durian dan berhenti karena terbentur pohon kajar,” jelas Nartono.
Kakek Sonto tidak berhenti bekerja walau tangannya tidak normal akibat jatuh dari pohon | regional.kompas.com
Atas kejadian itu, ia dilarikan ke RSUD Wates, lantas dirujuk ke Yogyakarta. Sonto harus dirawat selama 3 bulan di sana. Ia terpaksa menjual kebun sekitar 3.600 meter persegi demi pengobatnya.
“Kebun dijual karena punya utang dan biaya kontrol terus ke RS. Belum lagi untuk makan. Dulu belum ada BPJS dan bantuan-bantuan lain. Informasi juga tidak mengalir cepat seperti sekarang,” kata Nartono.
Penyembuhan pada luka dalam itu membuat Sonto terlambat untuk mengembalikan tangannya yang patah. Awalnya tangan itu hanya digibs. Tapi tulangnya malah tidak menyambung secara sempurna. Akibat kecelakaan kerja itu, Sonto juga sampai kehilangan suaranya.
“Yang tersisa adalah suaranya yang parau,” kata Nartono.
Lebih 19 tahun berlalu, Sonto mengaku tidak perlu lagi ada kesembuhan dan pemulihan pada tangan kanannya. Ia akan membiarkannya seperti apa adanya.
“Mboten. Ora (red: Tidak mau. Tidak perlu disembuhkan),” katanya sambil geleng-geleng.
Bagi Nartono, ia menilai Sonto mungkin sudah merasa nyaman dengan keadaannya sekarang sehingga tidak perlu lagi ada rekayasa tulang padanya. Kakek Sonto selalu terlihat ikhlas, bersyukur dan bersemangat di desanya sehingga tidak sedikit yang termotivasi atas cerita hidup kakek Sonto.
Artikel Asli : keepo.me