Gempa tektonik yang memicu Tsunami Aceh 2004 tidak terjadi dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses terjadinya gempa pembuka (foreshocks) yang sudah muncul sejak tahun 2002, saat terjadi Gempa Simeulue 7,0 pada 2 November 2002.
Dikatakan Daryono, sejak itu terjadi serangkaian gempa kecil yang terus menerus terjadi yang merupakan gempa pendahuluan hingga puncaknya terjadi gempa berkekuatan 9,2 pada 26 Desember 2004 pukul 08.58.53 WIB.
Fenomena gempa pendahuluan (foreshocks) yang sudah terjadi sejak 2 tahun sebelumnya merupakan bukti kuat bahwa Gempa Aceh 2004 tidak dipicu ledakan nuklir, tetapi gempa tektonik dengan tipe: gempa pendahuluan (foreshocks) – gempa utama (mainshock) – gempa susulan (aftershocks).
5. Jalur rekahan Gempa
Aceh 2004 membentuk jalur rekahan (rupture) di sepanjang zona subduksi (line source) dari sebelah barat Aceh di selatan hingga Kepulauan Andaman-Nicobar di utara sepanjang sekitar 1500 km.
Ini adalah bukti bahwa rekahan gempa tektonik terjadi di segmen Megathrust Aceh-Andaman.
Rekahan panjang yang terbentuk di sepanjang jalur subduksi lempeng ini adalah bukti bahwa deformasi dasar laut yang terjadi bukan disebabkan oleh ledakan nuklir.
“Karena jika ledakan nuklir maka deformasi yang terbentuk secara terpusat di satu titik (point source) dan tidak berupa jalur (line source),” terangnya.
6. Banyak gempa susulan
Bukti bahwa guncangan dahsyat di Aceh 2004 dipicu oleh gempa tektonik adalah munculnya serangkaian gempa susulan yang sangat banyak di sepanjang jalur Megathrust Andaman-Nicobar pasca gempa utama.
Jika tsunami dipicu ledakan nuklir maka tidak ada rekaman gempa susulan yang sangat banyak yang terjadi hingga lebih dari setahun kemudian.
“Jika tsunami dipicu oleh ledakan nuklir, maka tidak akan ada rekaman gempa susulan tersebut hingga periode yang sangat lama,” ungkapnya. Baca juga: Disinggung Luhut dalam Rapatnya, Apa Itu Gempa Megathrust?
7. Perubahan data magnitudo hal biasa
Mengenai adanya perubahan data magnitudo dan posisi episentrum gempa Aceh 2004 adalah hal biasa dalam analisis penentuan parameter gempa.
“Perubahan parameter gempa terjadi karena adanya pemutakhiran data akibat bertambahnya data seismik yang masuk dan digunakan untuk dianalisis oleh petugas di lembaga monitoring gempa,” ujar Daryono.
Makin banyak data gempa yang digunakan maka hasil parameter gempa makin stabil dan akurat hingga diperoleh hasil final.
Demikian juga adanya perubahan episenter Gempa Aceh 2006, disebabkan oleh adanya proses rekahan pada sumbar gempa yang bertahap dan terjadi dalam kawasan yang memanjang dari barat Aceh hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar di India.
Artikel asli : tribunnews.com