“Kita ikut peraturan Mekkah atau Pekanbaru Ustadz ?” tulis Ustad Abdul Somad dari akun Instagram @ustadabdulsomad_official. Ustad Abdul Somad pun menjawab bahwa Mekkah dan Indonesia memiliki mathla’nya masing-masing.
“Mekah ada mathla’, Pekanbaru ada mathla’,” jelas ustadz yang akrab disapa UAS itu.
Perbedaan ini membuat cuaca di setiap negara berbeda, yang juga mempengaruhi waktu ibadah.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tidak dapat melacak waktu di Mekkah.
“Mekah ada syuruq, Pekanbaru ada syuruq. Tidak sama,” tulis Ustad Abdul Somad.
“Bagaimana kita bisa ikut Mekkah? Kalau di Pekanbaru, kita akan ikut Mekkah. Artinya salat Zuhur kita jam 15.30 Wib,” sambungnya.
Jadi, jika mathla’ mempengaruhi iklim di setiap wilayah, mengapa Arab Saudi merayakan Idul Adha sebelum Indonesia? Ustad Abdul Somad menjelaskan bahwa dasar penentuan waktu ibadah dengan penentuan penanggalan berbeda.
Dasar penentuan waktu shalat, kata UAS, menggunakan waktu berdasarkan perjalanan matahari.
Sedangkan dasar penentuan penanggalan menggunakan bulan baru (bulan).
“Ketika kita sholat, kita menggunakan matahari, kita adalah yang pertama di timur. Awal bulan kita ikut Hilal, bulan ke barat duluan,” jelas UAS. Lalu bagaimana dengan puasa Arafah yang dilakukan bersamaan dengan wukuf di Arafah?
UAS, ritual puasa Arafah yang dilakukan umat Islam di Indonesia, disebut-sebut masih mengikuti math’la daerah masing-masing.
“Wuquf gabung apa? Gabung 9. Apa yang kamu gabung 9?” Bergabunglah dengan 1. Apa yang kamu lakukan dengan 1? Ikuti bulan. Jadi puasa itu 9, bukan 8, bukan 10. Ikutlah mathla’ masing-masing daerah,” terangnya. Ustad Abdul Somad juga menambahkan, perbedaan waktu perayaan Idul Adha tidak hanya terjadi di zaman modern.
Perbedaan ini juga terjadi pada masa kerasulan Nabi Muhammad.
“Kuraib dari Medina ke Syam. Di Syam mereka melihat Hilal pada Jumat malam. Ibnu Abbas di Medina melihat Hilal pada Sabtu malam,” tulis UAS. “Syam dan Madinah berbeda dalam matematika, khususnya Mekkah dan Pekanbaru,” lanjutnya.