Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mulai merilis rencana perubahan skema penggajian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Pascaberlakunya UU ASN pada tahun 2014, sistem penggajian pada ASN pun akan mengalami penyempurnaan. Skema penggajian yang selama ini berlaku kemungkinan besar akan disederhanakan komponennya sesuai dengan pengaturan pada UU ASN.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, komponen penggajian pada ASN hanya dikenal gaji, tunjangan, serta fasilitas. Di mana komponen tunjangan dibatasi hanya untuk tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan. Pola penggajian sebagaimana diatur pada UU ASN merupakan simplifikasi dari pola penggajian ASN yang berlaku selama ini.
Kemenpan RB juga mengisyaratkan pola penggajian yang baru nantinya akan memiliki kriteria berupa rentang gaji yang wajar dan kompetitif, pengaitan antara kinerja dan insentif, serta komponen penggajian yang sifatnya fix dan variable.
Meskipun skema baru masih dalam tahap pembahasan, namun dari kriteria yang dipaparkan sepertinya skema penggajian baru nantinya akan mirip dengan skema remunerasi pada Badan Layanan Umum (BLU). Ide dasar perubahan sistem penggajian pada BLU memiliki kemiripan dengan alasan yang dikemukakan oleh Kemenpan RB, yaitu keinginan untuk memotivasi pegawai agar berkinerja lebih.
Skema penggajian pada BLU (remunerasi BLU) disusun untuk menggantikan skema sebelumnya yang mengadopsi skema penggajian yang berlaku di unit pemerintah pada umumnya. Penggunaan skema penggajian ala pemerintah pada BLU dianggap kurang sesuai mengingat antara unit pemerintah murni dan BLU memiliki perbedaan yang mendasar. Apabila pada unit pemerintah umumnya tusi yang diberikan merupakan penyediaan barang publik, maka pada BLU layanan yang diberikan berupa penyediaan barang semi publik.
Sebagai unit yang memiliki tusi sebagai penyedia barang semi publik dengan tujuan not for profit, BLU dituntut untuk dapat mandiri dari pendapatan yang diperolehnya. Pendapatan yang diperoleh merupakan sumber pembiayaan untuk operasional dan pengembangan layanan pada BLU.
Remunerasi BLU menjadi sebuah pilihan dikarenakan penggunaan pola penggajian yang lama membuat BLU mengalami stagnasi dalam perkembangannya. BLU susah untuk berkembang dikarenakan penghasilan yang diberikan tidak cukup menarik bagi pegawai profesional baik berstatus ASN dan non ASN untuk bergabung dengan BLU.
Faktor pendapatan merupakan pembeda antara unit pemerintah pada umumnya dengan BLU. Faktor tersebut juga menjadi alat ukur yang adil dalam menghitung kinerja pegawai BLU. Dengan adanya target pendapatan yang harus dicapai, maka penggunaan skema penggajian sebagaimana yang berlaku pada entitas bisnis merupakan hal yang sesuai dengan karakteristik BLU. Dari hasil adaptasi yang dilakukan maka intisari remunerasi BLU terletak pada:
a. Penyederhanaan komponen penggajian dengan pendekatan 3P, yaitu Pay for Position, Pay for Performance, serta Pay for People;
b. Penggunaan Key Performance Indicator dan Balanced Scorecard untuk menentukan target kinerja dan mengukur capaian kinerja (insentif/performance) pegawai;
c. Rasio penghasilan terendah dan tertinggi yang sifatnya tetap untuk menjamin agar level paling bawah tetap mendapatkan perhatian apabila ada penyesuaian penghasilan.
Perubahan skema pemberian penghasilan yang terjadi pada BLU mungkin bisa menjadi contoh untuk dapat diaplikasikan secara luas meskipun tidak sepenuhnya bisa diadaptasi bagi unit pemerintah non BLU. Ada beberapa isu yang perlu disepakati terlebih dahulu antara lain monetisasi dan trilema yang berkaitan dengan penyusunan sistem penggajian.
Monetisasi kinerja pegawai pada BLU sangat mudah dilakukan karena ada faktor pendapatan yang bisa diukur. Bertambahnya kinerja seorang pegawai akan memiliki dampak pada pendapatan BLU secara total. Kinerja pegawai BLU memiliki kemiripan dengan kinerja pegawai pada sektor bisnis di manapun. Semakin rajin pegawai maka semakin besar pula pendapatan yang diperoleh BLU. Adanya korelasi antara kinerja dan pendapatan mempermudah manajemen pada BLU untuk memberikan insentif yang adil sesuai kontribusi masing-masing pegawai.
Pada unit pemerintah non BLU, monetisasi kinerja pegawai susah dilakukan karena tidak ada faktor yang bisa digunakan untuk menilai kinerja secara adil. Absennya faktor pendapatan mengakibatkan kinerja pegawai yang rajin dan kurang rajin akan terlihat sama saja. Belum lagi faktor alokasi anggaran yang menjadi penghalang untuk memberikan insentif atas kinerja lebih. Seandainyapun seluruh pegawai berkinerja luar biasa, tidak ada jaminan bahwa insentif kinerja akan bertambah. Lagi-lagi alasan alokasi anggaran yang menjadi penyebabnya.
Absennya faktor pendapatan pada unit pemerintah non BLU selayaknya menjadi pertimbangan untuk mengukur kinerja dengan standar lain misalnya efisiensi belanja yag berhasil dilakukan. Walaupun penggunaan standar efisiensi belanja sebagai indikator penentu kinerja dapat dilakukan namun perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan. Agar jangan sampai demi mencapai target efisiensi, tusi yang seharusnya dikerjakan pun menjadi terabaikan.
Penggajian Aparatur Sipil Negara
Isu kedua berkaitan dengan trilema yang dihadapi dalam menyusun sistem penggajian. Sebuah sistem penggajian yang ideal pasti akan dihadapkan dengan pertanyaan apakah akan membatasi persentase belanja pegawai, membatasi jumlah pegawai, atau membatasi besaran maksimal penghasilan pegawai. Sayangnya kita hanya bisa memilih dua dari tiga pilihan di atas sebagai kombinasi untuk menyusun sistem penggajian.
Pada remunerasi BLU, kombinasi yang diambil adalah membatasi persentase belanja pegawai dan jumlah pegawai, namun membebaskan besaran maksimal penghasilan yang akan diterima oleh pegawai. Konsekuensinya adalah pegawai pada masing-masing BLU tidak ada yang memiliki penghasilan dengan besaran yang sama persis.
Hal tersebut berlaku juga pada tingkat institusi, di mana besaran remunerasi bagi Direktur Utama Rumah Sakit BLU atau Rektor PTN BLU akan berbeda satu dengan yang lainnya. Sisi positifnya, kombinasi tersebut memiliki kelebihan berupa kompetisi dalam berkinerja antar BLU. Setiap BLU akan bersaing untuk berkinerja lebih baik karena akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan yang diperoleh selanjutnya menjadi indikator untuk menyesuaikan besaran remunerasi.
Bagi unit pemerintah non BLU, memilih kombinasi dari tiga pilihan di atas merupakan hal yang sangat memusingkan. Dari tiga unsur di atas, praktik di lapangan terdapat variasi yang sangat beragam. Alokasi belanja pegawai yang ada pada masing-masing unit pemerintah dari pusat sampai daerah, memiliki persentase sangat variatif. Belum lagi ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah akan melakukan pembatasan jumlah atau pembatasan besaran maksimal penghasilan yang diterima oleh pegawai.
Menyempurnakan skema penghasilan bagi ASN merupakan sebuah keharusan sesuai amanat pada UU ASN. Hanya saja, masih banyak langkah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menuju konsep simple salary. Berbagai simulasi dalam merumuskan skema baru penggajian perlu dilakukan untuk memperoleh skema paling ideal dengan dampak paling minimal. Potensi terjadinya penurunan pendapatan pada skema baru harus dapat dipetakan dengan baik agar transisi yang dilakukan dapat berjalan dengan mulus.
Penggajian Aparatur Sipil Negara
Artikel asli : cnbcindonesia.com