Pada unit pemerintah non BLU, monetisasi kinerja pegawai susah dilakukan karena tidak ada faktor yang bisa digunakan untuk menilai kinerja secara adil. Absennya faktor pendapatan mengakibatkan kinerja pegawai yang rajin dan kurang rajin akan terlihat sama saja. Belum lagi faktor alokasi anggaran yang menjadi penghalang untuk memberikan insentif atas kinerja lebih. Seandainyapun seluruh pegawai berkinerja luar biasa, tidak ada jaminan bahwa insentif kinerja akan bertambah. Lagi-lagi alasan alokasi anggaran yang menjadi penyebabnya.
Absennya faktor pendapatan pada unit pemerintah non BLU selayaknya menjadi pertimbangan untuk mengukur kinerja dengan standar lain misalnya efisiensi belanja yag berhasil dilakukan. Walaupun penggunaan standar efisiensi belanja sebagai indikator penentu kinerja dapat dilakukan namun perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan. Agar jangan sampai demi mencapai target efisiensi, tusi yang seharusnya dikerjakan pun menjadi terabaikan.
Penggajian Aparatur Sipil Negara
Isu kedua berkaitan dengan trilema yang dihadapi dalam menyusun sistem penggajian. Sebuah sistem penggajian yang ideal pasti akan dihadapkan dengan pertanyaan apakah akan membatasi persentase belanja pegawai, membatasi jumlah pegawai, atau membatasi besaran maksimal penghasilan pegawai. Sayangnya kita hanya bisa memilih dua dari tiga pilihan di atas sebagai kombinasi untuk menyusun sistem penggajian.
Pada remunerasi BLU, kombinasi yang diambil adalah membatasi persentase belanja pegawai dan jumlah pegawai, namun membebaskan besaran maksimal penghasilan yang akan diterima oleh pegawai. Konsekuensinya adalah pegawai pada masing-masing BLU tidak ada yang memiliki penghasilan dengan besaran yang sama persis.
Hal tersebut berlaku juga pada tingkat institusi, di mana besaran remunerasi bagi Direktur Utama Rumah Sakit BLU atau Rektor PTN BLU akan berbeda satu dengan yang lainnya. Sisi positifnya, kombinasi tersebut memiliki kelebihan berupa kompetisi dalam berkinerja antar BLU. Setiap BLU akan bersaing untuk berkinerja lebih baik karena akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan yang diperoleh selanjutnya menjadi indikator untuk menyesuaikan besaran remunerasi.
Bagi unit pemerintah non BLU, memilih kombinasi dari tiga pilihan di atas merupakan hal yang sangat memusingkan. Dari tiga unsur di atas, praktik di lapangan terdapat variasi yang sangat beragam. Alokasi belanja pegawai yang ada pada masing-masing unit pemerintah dari pusat sampai daerah, memiliki persentase sangat variatif. Belum lagi ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah akan melakukan pembatasan jumlah atau pembatasan besaran maksimal penghasilan yang diterima oleh pegawai.
Menyempurnakan skema penghasilan bagi ASN merupakan sebuah keharusan sesuai amanat pada UU ASN. Hanya saja, masih banyak langkah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menuju konsep simple salary. Berbagai simulasi dalam merumuskan skema baru penggajian perlu dilakukan untuk memperoleh skema paling ideal dengan dampak paling minimal. Potensi terjadinya penurunan pendapatan pada skema baru harus dapat dipetakan dengan baik agar transisi yang dilakukan dapat berjalan dengan mulus.
Penggajian Aparatur Sipil Negara
Artikel asli : cnbcindonesia.com