“Jadi impor beras yang ini bukan (rekomendasi) dari Kementan. Kemudian, biasanya kalau beras khusus itu penggunaan dan sasarannya juga khusus, tidak masuk ke pasar tradisional,” tambah dia.
Menimpali itu, Dedi Mulyadi meminta Kementan untuk segera menyelidiki impor tersebut dan mengambil langkah hukum. Sebab impor beras itu juga dijual dengan harga murah Rp 9.000 per kilogram.
Kondisi ini akan mengancam petani lokal, karena berpotensi menganggu harga beras dalam negeri. Terlebih jumlah beras impor yang masuk cukup besar.
Berdasarkan data Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) sebanyak 300 ton beras impor asal Vietnam masuk ke Pasar Cipinang.
Dalam kesempatan terpisah, Perpadi sendiri juga menyatakan, pemerintah harus mulai membatasi impor beras khusus. Sebab petani lokal dinilai sudah mampu menyediakan berbagai macam beras khusus bagi kebutuhan dalam negeri.
Ketua Umum Perpadi Sutarto Alimoeso mengatakan, pemerintah harus mengevaluasi kembali kebijakan impor beras khusus, yang sebenarnya bisa di subtitusi dengan beras kualitas sama hasil produksi di dalam negeri.
“Perlu dilakukan evaluasi, sebenarnya beras khusus yang mana yang bisa dan perlu diimpor. Kalau menurut saya yang betul-betul tidak bisa di produksi dalam negeri yah beras basmati,” ujarnya kepada Kompas.com, dikutip Sabtu (30/1/2021).
Saat ini Indonesia memang masih melakukan impor sejumlah beras khusus seperti seperti japonica, jasmine, dan basmati asal Thailand, Vietnam, hingga India untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe.
Namun Sutarto menilai petani dalam negeri saat ini sudah mampu memproduksi beras khusus seperti rojolele dan mentik wangi.
“Kalau menurut kami itu, beras khusus seperti jasmine, tidak perlu impor lagi,” imbuhnya.
Termasuk juga dalam hal impor beras broken (pecah) yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku tepung dan bihun. Menurut Sutarto, kebutuhan beras broken bisa dipenuhi oleh sektor penggilingan padi dalam negeri.
Ia mengatakan, kendala bagi industri beras broken dalam negeri adalah keterbatasan alat sehingga produksinya tak optimal. Oleh sebab itu, harusnya pemerintah turut membantu dalam hal revitalisasi mesin guna membantu produsen lokal.
“Broken kan masih impor, padahal sebagian besar penggilingan padi kita bisa memproduksi broken. Hanya saja alatnya masih perlu direvitalisasi, ini yang menjadi permasalahan,” ungkapnya.
Sutarto menjelaskan, impor pada masa kini hanya akan berdampak buruk bagi pasar beras dalam negeri. Lantaran, saat ini produksi beras lokal cukup tinggi sehingga pasokan pun surplus.
“Pada situasi sekarang mestinya tidak perlu impor. Karena kan kita surplus, artinya kondisi pasar tidak ada gejolak, bahkan cenderung lesu untuk pasar beras. Juga ini kan jelang panen raya,” kata dia.
“Jadi adanya beras impor berpotensi menekan harga, dan ujung-ujungnya petani yang akan tertekan dan dirugikan,” tambah Sutarto.
Artikel asli : kompas.com