ISIS menjadi sorotan usai organisasi masyarakat, Gerakan Reformasi Islam (Garis), mencabut label gereja di tenda pengungsian korban gempa Cianjur, Jawa Barat.
Kepolisian Indonesia kemudian mengonfirmasi bahwa orang yang mencabut label Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia itu merupakan bagian dari ormas Garis.
Aksi pencopotan itu berlangsung di empat wilayah pengungsian di antaranya Desa Cibulakan, Desa Genjot, Desa Talaga, dan Desa Sarampad.
Usai tindakan tersebut viral, rekam jejak Garis tak luput jadi perhatian. Ormas ini dibentuk pada 24 Juni 1998, tak lama usai Orde Baru runtuh.
Dalam penelitian yang berjudul “Gerakan Sosial dalam Transisi Demokrasi” karya Reza Rachmat Ramadhan menyebut, Garis sering dikaitkan dengan gerakan ISIS di Suriah.
Dalam riset itu, Reza menyebut beberapa anggota Garis pernah dipanggil polisi karena diduga terlibat dalam aksi terorisme dan berkaitan dengan ISIS.
Terlepas dari itu, mengapa paham ISIS bisa muncul di Indonesia?
Pengamat terorisme Indonesia, Andrie Taufik, mengatakan paham ISIS bisa masuk ke negara ini karena propaganda sejak beberapa tahun lalu.
“Paham ISIS sendiri bisa masuk ke Indonesia karena kampanye dan propaganda sejak 2014-2015 mengenai penegakan Khilafah di Suriah,” kata Andrie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/11).
Lebih lanjut, ia menerangkan dahulu tawaran ISIS bagi kelompok dari negara manapun, termasuk Indonesia, sangat menarik yakni konsep hijrah dan sistem khilafah.
Namun, kini daya tawar kelompok yang kerap dianggap radikal itu sangat berkurang.
Andrie juga mengatakan kelompok pendukung ISIS di Indonesia tak banyak.
“Tidak strategis lagi karena semakin lemah dan tidak memiliki dukungan konkret di umat Islam,” ungkap dia.
Beberapa tahun lalu, banyak orang Indonesia yang pergi ke Timur Tengah karena tawaran ISIS. Namun, banyak dari mereka pulang dengan kecewa.
Asia Times melaporkan mereka menghadapi kenyataan berbeda yakni kebrutalan dalam skala yang tak mereka siapkan.
Tentang Organisasi Terlarang ISIS
ISIS merupakan organisasi pewaris Al-Qaeda di Irak. Kelompok ini terbentuk pada 2004 oleh Abu Mush’ab Az Zarqawi, dengan nama Al-Qaeda di Irak (AQI), demikian dikutip Wilson Center.
Organisasi ini sempat menghilang saat pasukan AS menginvasi Irak pada 2007 lalu. Kemudian pada 2011, mereka muncul kembali.
Selama beberapa tahun berikutnya, mereka memanfaatkan ketidakstabilan di Irak dan Suriah untuk melakukan serangan dan memperkuat barisan.
Kelompok tersebut berganti nama menjadi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2013.
ISIS melancarkan serangan ke Mosul, Irak, dan Tikrit pada Juni 2014. Kemudian pada akhir Juni, pemimpin ISIS Abu Bakr al Baghdadi mengumumkan pembentukan kekhalifahan yang membentang dari Aleppo di Suriah hingga Diyala di Irak.
Mereka kemudian berganti nama menjadi kelompok Negara Islam.
Merespons tindakan ISIS, koalisi pimpinan AS memulai serangan udara terhadap kelompok tersebut di Irak pada 7 Agustus 2014.
Beberapa bulan berikutnya, AS menyebut kampanye tersebut “Operation Inherent Resolve.”
Sejak saat itu, AS melakukan lebih dari 8.000 serangan udara di Irak dan Suriah. ISIS mengalami kerugian besar di sepanjang perbatasan Suriah dengan Turki.
Lalu pada akhir 2015, pasukan Irak berhasil merebut kembali Ramadi. Namun di Suriah, ISIS memperoleh keuntungan di dekat Aleppo, dan masih memegang teguh Raqqa dan benteng lain.
Pada 2015, ISIS berkembang menjadi jaringan afiliasi di setidaknya delapan negara lain. Cabang, pendukung, dan afiliasinya semakin sering melakukan serangan di luar perbatasan yang disebutnya kekhalifahan.
Artikel asli : cnnindonesia.com