Ia mengaku sempat terpikir, bila anaknya memberi keturunan. Berarti kelak akan ada yang membantu mengurusi anak-anaknya yang disabilitas tersebut.
“Iya bingung, kula ngantos (saya sampai) punya anak dinikah kalih bapak (dinikahi oleh bapak). Kula niku (saya itu) supaya punya tumbuh, ada yang ngerumat anak saya yang bodoh-bodoh itu,” ujar Mbok Tarmo.
5 Cucu dari Damiyem
Semakin miris ternyata, usai mengetahui bahwa Damiyem memiliki lima anak. Tiga orang di antaranya mengalami cacat mental yang sama. Hanya dua buah hatinya yang terlahir normal.
Kendati demikian, bentuk kasih sayang Giyono begitu terasa. Ia tetap memberi perhatian lebih pada anak-anaknya yang terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK).
“Sekali tempo ada yang kaya ujug-ujug (tiba-tiba) stres gitu lo. Itu selalu saya awasi. Saya tidak selalu melepaskan ke bapak dan ibu guru, tapi saya juga mengawasi,” ujar Giyono.
Dua Anak Tinggal di Panti

Kedua putra Mbok Tarmo yang seharusnya sudah cukup usia menikah, Padimin dan Pardi. Hingga kini masih mengenyam pendidikan di SLB (Sekolah Luar Biasa) dan sesekali tinggal di panti. Tapi setiap hari suka pulang ke rumah untuk ikut makan.
“Orang dua-duanya tiap hari ya pulang. Sungguhpun ada panti asuhan, tiap hari ya pulang, makan di rumah. Ya ini kalau saya nggak siap sama mboknya kan gimana. Mosok njagakke, kuwi wis ning panti asuhan, nggak usah, ha nanti gimana kalau pulang tujuannya mau makan,” tukas Giyono.
Ada ketakutan tersendiri yang menyelimuti Mbok Tarmo. Di usianya yang telah renta, masih ada tanggungan anak-anak ABK.
“Ya pikiran, saya mikir anak saya cacat begini nanti saya meninggal, anak saya gimana ini,” ucap Mbok Tarmo.
Tak Pilih Kasih

Hal istimewa yang dibanggakan oleh Mbok Tarmo dari suaminya, ialah bentuk kasih dan sayang. Diakuinya, Giyono selalu perhatian pada anak-anaknya. Baik pada anak tiri, anak yang cacat, maupun yang normal.
“Nggak, saya nggak khawatir. Maka kalau yang ‘berkebutuhan’ saya utamakan sekolah. TK sampai SD sekuat tenaga, saya sebagai orang tua, harus membina anak yang normal lebih tajam. Karena nanti akhirnya anak itu bisa tekun, patuh membina anak yang seperti ini (cacat),” ujar Giyono.
Tak ada rasa takut, Giyono yakin, kelak anaknya bisa membantu menyejahterakan saudaranya yang lain.
Tak Ada Biaya ke Rumah Sakit

Sangat disayangkan, seluruh keturunan Giyono tak ada yang pernah menerima pemeriksaan dari rumah sakit. Sebab diakuinya, tak ada biaya perjalanan, apalagi untuk berobat.
“Belum pernah. Jadi saya merasa kalau saya bawa ke rumah sakit, pertama persyaratan untuk trasnport yang tidak ada,” jelas Giyono.
Kerja Sebagai Buruh
Saat ini Giyono masih bekerja sebagai buruh tani, didampingi kedua istrinya. Mengerjakan tugas pertanian milik orang lain.
“Sungguhpun cukup tua, disebut-sebut orang tani. Tapi pertanian saya belum bisa menjalani pertanian, karena kalau khusus berarti harus punya tanah,” imbuhnya.
Begitu miris dan layak menjadi inspirasi. Meski getir hidup yang menimpa terbilang berat, Giyono mengaku tidak pernah takut sengsara dan merasa berkecukupan. Ia nampak mensyukuri hidup.
“Saya tidak merasa gengsi. Saya tidak merasa takut rekoso (susah), nggak. Sungguhpun cukup tua, angkat junjung masih kuat, buruh masih siap untuk anak,” tegas Giyono.
Artikel asli : merdeka.com