Sebenarnya, kata dia, ada delapan rumah di kampung tersebut. Namun, hanya tujuh yang ditempati.
Kepercayaan hanya ditinggali tujuh keluarga ini terus dipegang erat oleh masyarakat setempat hingga kini.
“Dari generasi pertama sampai saat ini tidak ada penduduk dari luar daerah yang tinggal di sini. Selain itu, jika penduduk sudah menikah pun harus keluar,” kata Yatnorejo.
Dia mengatakan, warga kampung itu mencari penghidupan dengan bertani dan beternak.
Pantangan selenggarakan pertunjukan wayang kulit

Selain terkait jumlah keluarga yang harus menempati, ada kepercayaan lain yang terus diyakini hingga kini.
Warga Kampung Pitu pantang menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.
Sebab, gunung di sekitar desa tersebut dinamakan gunung wayang.
Sehingga, warga kampung pitu memegang kepercayaan untuk tidak menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.
Masyarakat di Kampung Pitu juga masih teguh dengan beberapa tradisi, misalnya dalam membangun rumah dan upacara-upacara.
“Mau mendirikan rumah pun harus sesuai perhitungan masyarakat Jawa pada umumnya, harus ada hari yang tepat. Selain itu ada kenduri,” kata Yatnorejo.

Siapkan penerus untuk tinggal di Kampung Pitu
Yatnorejo, sebagai sesepuh desa, mengatakan, warga juga akan menyiapkan penerus untuk menempati Kampung Pitu.
Dia akan menunjuk satu anaknya untuk menemaninya tinggal di tempat tersebut.
Meski jauh dari pusat keramaian, hal itu tak menyurutkan minat generasi berikutnya untuk tinggal di sana.
Salah satunya Sarjono yang merupakan menantu Yatnorejo.
“Ingin tinggal di sini suatu saat nanti,” akunya.
Artikel asli : kompas.com