Tidak seperti publik di Barat yang mengutuk serangan Rusia ke Ukraina, warganet Indonesia banyak yang bersimpati dengan Rusia. Menanggapi fenomena itu, peneliti dari Johan Sytte Institute of Political Studies, Universitas Tartu, Estonia, Radityo Dharmaputra mengatakan ada beberapa alasan publik cenderung mendukung Rusia dalam kasus ini.
“Yang pertama adalah sikap anti-Amerika dan anti-Barat yang kuat di masyarakat. Anti-Amerikanisme ini sebelumnya telah diamati dalam sikap Indonesia terhadap “perang melawan teror” AS, yang dengan sendirinya merupakan pendorong utama sentimen anti-Amerika,” ujar dia lewat esainya di situs Indonesiaatmelbourne, dikutip Rabu (9/3/2022).
Menurut dia, dalam diskursus Indonesia tentang perang Rusia dan Ukraina telah berfokus pada kemunafikan Amerika dan Barat. Salah satunya menyoroti banyak yang membandingkan keengganan barat untuk mendukung Palestina dengan kecepatan di mana dukungan mengalir ke Ukraina.
“Oleh karena itu, masalahnya lebih pada penghinaan terhadap barat daripada dukungan sepenuh hati untuk tindakan Rusia. Sentimen ini telah diperburuk oleh para sarjana Indonesia yang telah memilih untuk menggambarkan konflik sebagai tanggapan terhadap ekspansi NATO ke dalam lingkup pengaruh Rusia, daripada memeriksa konteks sejarah dan budaya yang lebih dalam,” jelas dia yang juga mengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu.
“Ini mirip dengan sikap di China, di mana Rusia dipandang sebagai kekuatan revisionis yang berjuang melawan barat yang munafik.”
Lebih lanjut, Radityo mengungkap faktor penting lainnya yang mempengaruhi tanggapan Indonesia terhadap konflik adalah preferensi publik untuk pemimpin yang “kuat”. Seperti yang ditunjukkan oleh popularitas Prabowo Subianto pada pemilu 2014 dan 2019, publik Indonesia sangat responsif terhadap retorika tentang kepemimpinan nasionalis dan populis.
“Presiden Rusia Vladimir Putin telah lama digambarkan sebagai pemimpin yang hipermaskulin, kuat, dan tegas. Pada 2018, misalnya, politisi Gerindra Fadli Zon berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan ‘pemimpin yang kuat, berani, visioner, cerdas, dan berwibawa seperti Putin’,” ungkapnya.