nesia – Untuk yang berminat membeli mobil baru, ada pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sementara pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk calon konsumen rumah tapak dan rumah susun.
Pembebasan PPnBM mobil berlaku dengan syarat sebagai berikut:
- Sedan dengan kapasitas isi silinder kurang dari atau sama dengan 1.500 cc.
- Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 orang (4×2) dengan kapasitas isi silinder kurang dari atau sama dengan 1.500 cc.
- Kandungan lokal lebih dari atau sama dengan 70%.
Fasilitas ini tidak berlaku selamanya, ada jangka waktu. Tahap pertama adalah PPnBM sepenuhnya ditanggung pemerintah (100%) untuk masa pajak hingga Mei 2021. Kemudian tahap kedua dikurangi 50% yang berlaku pada Juni-Agustus 2021. Tahap terakhir adalah pemerintah hanya menanggung PPnBM sebesar 25%, ini berlaku pada September-Desember 2021.
Kemudian untuk insentif PPN pembelian rumah, kriterianya adalah sebagai berikut:
- Harga maksimal Rp 5 miliar.
- Diserahkan secara fisik pada periode pemberian insentif.
- Rumah baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni.
- Maksimal hanya untuk satu unit rumah tapak/rumah susun untuk satu orang dan tidak oleh dijual kembali selama satu tahun.
Pembebasan PPN 100% hanya berlaku untuk rumah tapak/rumah susun dengan harga maksimal Rp 2 miliar. Sementara untuk rumah tapak/rumah susun dengan harga Rp 2-5 miliar, PPnBM yang ditanggung pemerintah adalah 50%. Fasilitas ini berlaku hingga Agustus 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, insentif ini memang menyasar kelompok masyarakat menengah-atas. Meski sama-sama terkena dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), tetapi dukungan bagi kelompok ini tentu berbeda dengan masyarakat menengah-bawah
Untuk kelompok masyarakat bawah, pemerintah hadir secara langsung dalam memberikan bantuan apakah itu dalam bentuk tunai, Kartu Sembako, dan sebagainya. Sementara bagi kalangan menengah-atas, yang juga merasakan dampak pandemi, tentu pendekatannya berbeda.
“Konsumen menengah-atas yang konsumsinya turun bukan karena income tetapi karena tidak melakukan aktivitas konsumsi. Kelompok menengah-atas akan dilindungi melalui confidence sehingga mereka bisa melakukan aktivitas termasuk berkonsumsi,” kata Sri Mulyani.
Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total simpanan nasabah dengan nominal di bawah Rp 100 juta pada Desember 2020 bernilai Rp 954,26 triliun. Naik 8,06% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Nominal simpanan di tier lainnya juga meningkat, tetapi masih dalam kisaran satu digit.
Namun yang tertinggi adalah peningkatan simpanan kelompok masyarakat atas, yang punya tabungan di atas Rp 5 miliar. Pada Desember 2020, total nilai simpanan berisi Rp 5 miliar ke atas adalah 3.206,55 triliun. Naik 14,19% YoY.
Artinya, orang-orang kaya memilih menaruh uangnya di bank ketimbang melakukan konsumsi. Padahal ‘jajan’ mereka sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Begitu orang-orang tajir ini ‘keluar kandang’ dan membelanjakan uangnya, maka roda ekonomi akan berputar lebih cepat sehingga Indonesia bisa segera lepas dari jerat resesi.
Namun untuk mendongrak konsumsi orang kaya tentu jangan diberi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Mereka harus dirangsang agar mau melakukan konsumsi, jangan hanya bermain aman dengan menaruh uang di bank.
Seperti kata Sri Mulyani, orang-orang kaya ini harus diyakinkan, diberi confidence. Caranya ya itu tadi, memberikan keringanan pajak agar mereka mau membeli barang-barang tahan lama (durable goods) yang harganya pun tidak murah.
Otomotif dan properti adalah sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor-sektor lain. Kala penjualan mobil meningkat, maka permintaan besi baja, karet, plastik, sampai kredit perbankan akan terangkat. Begitu juga kala penjualan properti naik, yang namanya semen, batu, kayu, besi baja, furnitur, perlengkapan elektronik, dan kredit perbankan juga ikut terungkit. Di situ ada ribuan atau bahkan lapangan kerja.
Insentif pajak bagi kelas menengah-atas bukan hal yang baru pada masa pandemi ini, negara lain juga melakukannya. Salah satunya Korea Selatan (Korsel).
Pada 2020, penjualan mobil di Negeri Ginseng tumbuh 4,8% YoY. Mengutip riset GlobalData, adalah permintaan domestik yang membuat penjualan mobil mampu tumbuh. Penyebabnya adalah insentif pajak dari pemerintah.
Pemerintah Korsel memberikan diskon pajak terhadap 70% jenis yang dibebankan kepada konsumen yang membeli pada periode Maret-Juni 2020. Kemudian sampai Desember 2020, program diskon pajak dilanjutkan tetapi dikurangi menjadi 30% dari seluruh pajak yang dibayar oleh konsumen.
Mengutip Pulsenews, konsumen bisa berhemat sampai KRW 1,43 juta atau sekira Rp 18,34 juta kala membeli mobil baru. Tergiur dengan harga yang lebih murah, konsumen pun mau membeli mobil sehingga penjualan tumbuh positif.
“Dengan produsen di Korsel yang berencana mengeluarkan model baru dan gencarnya promosi, bukan tidak mungkin penjualan mobil bisa melanjutkan tren positif. Insentif pajak sepertinya masih menjadi pendorong utama,” kata Bakar Sadik Agwan, Senior Automotive Consulting Analyst di GlobalData.
Tentu ‘kemewahan’ buat orang berpunya ini menimbulkan pertanyaan. Apakah negara hadir bagi rakyat menengah-bawah, apalagi kelompok miskin?
Ada kok. Bagi kelompok masyarakat menengah-bawah, pemerintah menyediakan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang ditanggung pemerintah bagi karyawan sehingga bisa menikmati gaji penuh tanpa potongan pajak yang kemudian menciptakan tambahan penghasilan. Per akhir 2020, sudah ada 131.889 perusahaan pemberi kerja yang memanfaatkan insentif ini.
Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu, pemerintah melalui anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mengalokasikan dana Rp 150,21 triliun untuk perlindungan sosial. Di antara ada Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Kartu Pra Kerja, BLT, dan sebagainya.
Kalau mau hitung-hitungan, berapa sih yang diberikan pemerintah untuk ‘mensubsidi’ orang kaya yang mau beli mobil dan rumah? Sri Mulyani memperkirakan anggaran untuk insentif PPnBM mobil adalah Rp 2,9 triliun sementara PPN rumah Rp 5 triliun. Tidak ada apa-apanya ketimbang Rp 150,21 triliun untuk melindungi kelompok masyarakat yang rentan dan membutuhkan bantuan.
Well, orang-orang yang sudah mampu memang tidak perlu dapat dukungan terlalu banyak. Mereka cuma butuh sedikit dorongan, sedikit diyakinkan agar mau berkontribusi lebih banyak ke perekonomian. Mengutip kalimat Joker di film The Dark Knight, all it takes is a little push…
Artikel asli : cnbcindonesia.com
Response (1)