Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memanfaatkan kekuasaan dengan menawarkan jabatan kepada Achmad Purnomo sebagai kompensasi penyuksesan ambisi politik putranya, Gibran Rakabuming Raka dinilai sebagai pelanggaran etika.
Wakil Wali Kota Surakarta Achmad Purnomo yang juga calon wali kota yang rekomendasinya dialihkan ke putra Presiden mengaku bahwa dirinya dipanggil ke Istana Presiden untuk membicarakan urusan Pilkada dan politik lokal Surakarta. Bahkan, Purnomo mengaku dirinya ditawari jabatan oleh Presiden sebagai kompensasi atas perubahan arah rekomendasi partainya (PDIP) kepada putra Presiden Gibran Rakabumingraka. (Baca juga: Langkah PDIP Usung Gibran Bisa Picu Kekecewaan Kader)
Pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta Ahmad Khoirul Umam mengatakan, cara-cara seperti itu cenderung mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berbasis nepotisme atau kepentingan sanak-famili mereka yang sedang berkuasa. “Melakukan deal-deal politik praktis di Istana untuk kepentingan anaknya, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, jelas itu tidak patut dilakukan seorang Presiden,” ujar Khoirul Umam, Minggu (19/7/2020).
Tawaran jabatan itu, menurut Khoirul Umam, mengandung makna bahwa Presiden berusaha memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk memperlancar kepentingan pribadi anak dan keluarganya. “Dilihat dari berbagai sudut pandang, cara-cara berpolitik yang kasar dan vulgar ini tentu tidak produktif untuk pembangunan demokrasi Indonesia ke depan,” katanya. (Baca juga: Pengamat Nilai Gibran Dapat Rekomendasi PDIP karena Anak Presiden)
Dikatakan Khoirul Umam yang juga Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), kekuasaan memang mudah melenakan orang. “Dulu bangga menyatakan anak dan keluarganya tidak tertarik dengan kekuasaan. Namun setelah angin berganti dan ambisi mencuat, justru kekuasaan negara yang ada ditangan berusaha dimanfaatkan untuk menyukseskan ambisi keluarga sendiri,” tuturnya.
Hal semacam ini, kata Khoirul Umam, berpotensi kontraproduktif terhadap persepsi publik pada Presiden Jokowi. “Baik anak dan menantunya menang atau kalah pada Pilkada 9 Desember mendatang, tetap menjadi preseden yang tidak sehat bagi demokrasi,” katanya.
Umam mengatakan, seharusnya Presiden paham dan memberikan pemahaman kepada keluarganya untuk menahan diri. “Lebih patut mereka berkompetisi setelah Jokowi purnatugas dari kekuasaan tertinggi sebagai presiden negeri ini. Jadi, watak Jokowi yang dilihat masyarakat selama ini, sepertinya berubah drastis. Masyarakat harus mengingatkan,” katanya.
Sebab, jika masyarakat tidak atau bahkan “tidak bisa” memberikan koreksi terhadap sikap presiden tersebut, itu pertanda tegas kemunduran demokrasi negeri ini. “Jika cara-cara yang melanggar etika ini dianggap biasa dilakukan oleh seorang presiden maka siapa yang bisa menjamin bahwa lembaga dan institusi negara yang punya kekuatan solid dan masif di bawah kendali presiden mampu bersikap netral dan independen pada kompetisi Pilkada mendatang?” katanya.
Melihat tren perilaku tersebut, kata Umam, potensi pembajakan dan penyalahgunaan kewenangan lembaga negara untuk kepentingan politik praktis keluarga penguasa berpeluang besar terjadi. Atau sebaliknya, jika penyalahgunaan kewenangan lembaga negara tidak terjadi, akumulasi kekuatan modal dari elemen oligarki tetap berpotensi besar berkumpul ke titik yang sama, yakni mereka yang didukung oleh pengendali kekuasaan negeri ini. “Hal ini jelas tidak etis dan tidak sehat bagi konsolidasi demokrasi,” tuturnya.
Ke depan, kata Umam, presiden harus bisa membedakan antara hak dan etika politik. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden haruslah menjadi teladan bagi stakeholders politik dan demokrasi bangsa ini. Kepada presiden, masyarakat menitipkan harapan dan mimpi. “Jika harapan rakyat itu dikhianati, jawaban selanjutnya tentu sangat miris sekali,” katanya.
Response (1)