Dalam investigasi ini, TNI AL berencana menggandeng pakar kapal selam dan ahli pembuat kapal selam.
“Kami investigasi tapi juga harus menghadirkan para pakar, bukan para pengamat. Para pakar kapal selam dan para pakar ahli pembuat kapal selam. Jadi itu ya. Bukan hanya pengamat sekadar pengamat,” ucap Ali.
Di samping itu, Ali menyatakan, sebelum tenggelam di perairan utara Bali, operasional kapal selam buatan Jerman pada 1977 itu masih tergolong layak.
Di mana batas waktu kelayakan operasional KRI Nanggala-402 baru berakhir pada September 2022.
“Jadi dari kelayakan kapal ini dinyatakan layak sampai dengan September 2022. Masih layak,” ujar dia.

12 kapal selam
Sebelum KRI Nanggala-402 tenggelam, TNI AL mempunyai lima koleksi kapal selam. Kelimanya adalah KRI Cakra-401, KRI Nanggala-402, KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-404.
Selain KRI Nanggala-402, KRI Cakra-401 tergolong kapal selam yang sudah berumur. Keduanya sama-sama produksi Jerman pada puluhan tahun lalu.
Dengan tenggelamnya KRI Nanggala-402, otomatis koleksi kapal selam TNI AL kini tinggal menyisakan empat unit.
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI) Beni Sukadis menyebut pengadaan kapal selam perlu menjadi skala prioritas pemerintah.
Jika dilihat dari luas wilayah laut dan geopolik, idealnya Indonesia harus memiliki 10 sampai 12 kapal selam.
“Kalau minimal jumlah mungkin sekitar 10 sampai 12 kapal selam untuk menjaga wilayah laut yang sedemikian luas dan tantangan geopolitik yang ada saat ini,” ujar Beni kepada Kompas.com, Selasa (27/4/2021) malam.
Akan tetapi, Beni menyebut, pengadaan kapal selam menghadapi tantangan besar lantaran pemerintah memiliki keterbatasan anggaran belanja negara.
Karena itu, pengadaan kapal selam idealnya hanya memerlukan penambahan sekitar 6 unit lagi untuk mempertebal satuan kapal selam TNI AL.
“Kita hanya perlu menambah 6 kapal selam baru yang mungkin bisa makan waktu 15 hingga 20 tahun ke depan secara keseluruhan,” ucap dia.
Artikel asli : kompas.com