India tengah jadi sorotan dunia karena mengalami gelombang kasus Covid-19 parah dalam beberapa pekan terakhir.
Tercatat, pada Kamis (22/4/2021), India melaporkan kasus harian Covid-19 sebanyak 314.835 kasus.
Lonjakan ini tentu membuat kebutuhan layanan kesehatan membeludak. Dokter dan tenaga kesehatan kewalahan.
Inilah kesaksian para dokter di India yang berjuang melawan tsunami Covid-19.
Kondisi di Rajkot
Rajkot merupakan salah satu kota yang disebut-sebut paling parah terkena dampak pandemi gelombang kedua di India.
Melansir Straits Times, Minggu (25/4/2021), saat koran lokal mengabarkan 285 orang yang meninggal karena Covid-19 minggu lalu, seorang spesialis perawatan intensif di sebuah rumah sakit swasta di Rajkot, Dr. Vivek Jivani mengatakan bahwa 3 dari mereka adalah pasiennya.
Untuk menahan ketidakberdayaan dan kecemasan, Jivani menyediakan waktu untuk doa 10 menit setiap pagi.
“Orang-orang sekarat karena keadaan yang tidak dapat saya kendalikan, tetapi tetap saja, setiap kali pasien meninggal di jam tangan saya, saya berkata pada diri sendiri, berusaha lebih keras untuk orang berikutnya,” kata Dr Jivani.
Seperti Perang Dunia II
Profesional medis di seluruh India menyebutkan kata yang berulang ketika bicara tentang gelombang kedua Covid-19 di India.
Kata itu ialah kewalahan, marah, mengantuk, lapar, kelelahan, takut, mati rasa, tidak berdaya dan yang paling penting, lelah.
Ahli paru di Rumah Sakit Lilavati di Mumbai, Dr Jalil Parkar mengatakan bahwa tidak seperti gelombang pertama, dokter sekarang sudah mengetahui sifat Covid-19, tetapi berbeda.
“Volume yang sangat besar, mutasi, kecepatan kerusakan pasien yang sesak napas, ketakutan yang luar biasa di sekeliling, dan sumber daya kita yang terbatas membunuh kita,” katanya.
Ia menyebut gelombang kedua ini seperti Perang Dunia II. Perang yang lebih mematikan dibanding yang pertama, meski sebenarnya lebih bisa dicegah.
Abai protokol
Ketika infeksi mereda pada Desember 2020, politisi dan warga dinilai mengendurkan kewaspadaan.
Mereka melepas masker dan tidak menjaga jarak. Kerumunan massa memadati berbagai kegiatan, seperti demonstrasi politik, festival keagamaan selama sebulan, dan pernikahan mewah.
Dr Parkar mengatakan inilah yang membuat virus corona jadi merajarela di seluruh India.
Dokter bekerja 18 jam sehari
India sekarang mencatat sekitar 347.000 infeksi baru setiap hari. Sistem kesehatan bertekuk lutut. Ada lebih dari 2.500 orang meninggal setiap hari.
Ibukota New Delhi, yang merupakan wilayah dengan kondisi terburuk, mencatat 24.331 kasus harian dan 348 kematian pada Jumat (23/4/2021).
Orang-orang yang sakit dan kerabat mereka mencari tempat tidur rumah sakit dan obat-obatan penyelamat hidup.
Seorang dokter penyakit dalam di Rumah Sakit Indraprastha Apollo di Delhi, Dr S. Chatterjee mengatakan bahwa dia kelelahan secara fisik dan mental.
Chatterjee bekerja rata-rata 18 jam sehari.
Dia memiliki 90 pasien Covid-19 di bawah perawatannya dan lainnya dilayani melalui konsultasi video call.
Pekerjaannya hanya menyisakan sedikit waktu untuk tidur dan makan. Dalam 10 hari terakhir, sehari-hari ia hanya sempat tidur paling banyak 4 jam.
“Delhi memiliki infrastruktur terbaik. Memikirkan Delhi dapat melalui hal ini sungguh luar biasa,” kata Chatterjee.
300 pangilan sehari
Hal serupa juga dialami oleh Dr Jivani dari Rajkot.
Ia dibanjiri 200 sampai 300 panggilan sehari yang menanyakan mengenai ketersediaan tempat tidur atau di mana mendapatkan remdesivir, obat anti-virus yang digunakan untuk mengobati pasien Covid-19 kritis.
Obat remdesivir kini sangat langka di India. Saking langkanya, obat ini bahkan sampai dijual dengan harga enam kali lipat di pasar gelap.
Selama gelombang pertama, petugas kesehatan khawatir tentang risiko tertular virus corona. Akan tetapi kali ini, mereka berjuang untuk memberikan perawatan terbaik di bawah tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kebanyakan dokter mengatakan bahwa mereka tidak berbagi kecemasan atau ketakutan mereka dengan keluarga mereka, untuk pwelindungan.
Seperti sedang dalam perang
Mengingat cadangan oksigen menipis, dokter dihadapkan dengan pilihan yang mustahil untuk memutuskan pasien mana yang lebih membutuhkan oksigen.
“Kasus mana yang harus diprioritaskan? Siapa yang kritis dan siapa yang buruk? Ini bukan situasi yang pernah kita hadapi dalam karier kita,” kata Dr Rajendra Prasad, ahli bedah saraf dan tulang belakang di Rumah Sakit Indraprastha Apollo di Delhi.
Dia adalah salah satu dari banyak spesialis dan ahli bedah di negara saat ini yang harus dengan cepat menguasai pendekatan multidisiplin yang dituntut oleh pandemi.
Kepala perawatan kritis di rumah sakit Artemis di Gurgaon, Dr Reshma Tewari yang bekerja di rumah sakit tentara pada tahun 1999, ketika India melawan Pakistan di Kashmir, menggambarkan bahwa situasi saat ini seperti sedang dalam perang.
Setiap pagi, dia dan dokter lainnya melakukan pemeriksaan oksigen untuk memastikan pasokan yang cukup.
“Saya bukan orang yang mudah depresi. Tapi saya merasa sedih. Saya bisa bertarung di satu front, tetapi sulit untuk bertarung di dua front,” ucap Tewari.
Para ahli mengatakan, lebih banyak pasien menunjukkan gejala sesak napas dan saturasi oksigen yang turun dengan cepat dibandingkan gelombang pertama.
Sebagian besar rumah sakit pun terpaksa menerima pasien dengan gejala dan penyakit penyerta yang parah. Lainnya terpaksa dipulangkan.
Kendati demikian, rumah sakit tetap tidak mampu menampung pasien prioritas.
“Kami telah kehilangan semua rasa proporsional dan keseimbangan, harus menolak pasien yang kami tahu sakit kritis, dan tidak akan berhasil tanpa akses ke rumah sakit,” kata Dr Vivek Shenoy, seorang ahli intensif senior di Rumah Sakit Rajshekhar Bangalore.
Institusinya hanya memiliki 25 tempat tidur perawatan kritis, dan setiap pasien kritis tinggal rata-rata selama 10 hari.
Pencatatan kematian
Seorang dokter berusia 26 tahun di Chennai, yang tidak ingin disebutkan namanya, ke bangsal Covid-19 segera setelah dia lulus ujian pascasarjana.
Ia mengatakan bahwa dia siap sedia menghadapi tantangan medis dan peralatan di bangsal ini, tetapi tidak masalah politik.
Kepala administrasi rumah sakitnya telah menginstruksikan semua staf untuk menerima orang dengan gangguan pernapasan akut, tetapi tanpa hasil tes Covid-19 ke bangsal non-Covid-19.
Katanya, ini untuk menunjukkan lebih sedikit kematian akibat Covid.
“Jika seorang pasien meninggal karena pneumonia bronkial atau kegagalan pernapasan, idealnya kami harus menganggapnya sebagai kematian akibat Covid-19, tetapi ini tidak dilakukan,” tuturnya.
Dalam banyak hal, protokol kesehatan telah membuat mereka terisolasi seperti pasien yang mereka rawat.
Seorang dokter umum di salah satu rumah sakit negara terbesar di Chennai, mengenang pasangan lansia yang dirawat di blok Covid-19.
Sang istri, 65 tahun, berada di unit perawatan kritis dan suaminya, 70 tahun, di bangsal reguler Covid-19.
Dokter itu mengaku setiap hari berkeliling dan lelaki tua itu akan memohon untuk bertemu istrinya.
Dia biasanya tidak mengizinkan siapa pun ke ICU Covid, tetapi dia mendapat izin dan membawanya dengan kursi roda ke jendela ICU.
“Dia akan mengawasinya selama beberapa jam setiap hari. Suatu hari, ketika dia menjadi lebih buruk, dia putus asa, mengatakan bahwa dia adalah satu-satunya keluarganya,” ungkapnya.
Kisah itu nampaknya berakhir tragis. Namun keajaiban terjadi. Pasangan itu pulih.
Bagi dokter yang tak ingin disebut namanya ini, kejadian itu memberi harapan di tengah trauma yang tak berkesudahan.
Artikel asli : kompas.com