Dalam wawancara, Maaher juga bicara soal atau ceramahnya yang kontroversial. Banyak pihak yang mengkritik Maaher karena ucapannya dinilai sangat jauh dari cerminan seorang ustaz.
“Kalau terkait dengan kata-kata kasar, saya sulit sih ya. Saya menjawabnya sulit. Agak sulit. Kenapa, karena kultural. Kulturalnya gini, terkadang kasar atau tidak kasarnya sebuah ungkapan di dalam berbahasa itu sangat asumtif. Asumtifnya kenapa, karena tergantung siapa yang mendengar,” kata Maher.
Maaher menerangkan dirinya tumbuh besar di Kota Medan, Sumatera Utara. Dia baru tinggal menetap di Kota Bogor, Jawa Barat, kurang-lebih sekitar 6 tahun lalu. Karena itu, dia mengklaim sulit mengubah gaya bicaranya.
“Sulit. Sulitlah. Sulit karena saya kan sudah gede, sudah balig istilahnya. Kecuali saya dari SD, dalam masa pertumbuhan di Jawa pasti ada berubahlah dari logat, dialektika, tapi kalau sudah besar, sudah dewasa sulit berubah cara bahasa,” jelas bapak dua anak ini.
“Untuk kultur Jawa, khususnya Jawa Barat Sunda, Jawa Tengah, termasuk teman-teman kita di NU di Pekalongan, bahasa-bahasa seperti yang saya ungkapkan, sering dilihat oleh netizen itu terbilang kasar memang, karena kulturnya demikian. Orang Jawa Sunda itu kan santun,” sambung Maaher.
Saat berbincang langsung dengan Maaher, sosoknya memang jauh berbeda. Tutur katanya lembut, berbeda jauh dari aksinya di medsos yang kerap berapi-api saat berbicara dan kerap melontarkan kata kasar. Dia menyatakan, dalam keseharian memang itulah sosoknya apa adanya.
“Masa saya akting, memangnya drama. Kalau kenal saya di warung, ngobrol itu seperti ini saya. Itu bahasa itu ya medsos,” jelasnya.
Soal gaya bahasanya di medsos yang kontroversial, Maaher menyatakan itu adalah bagian dari upayanya berdakwah. Dia mengakui bahasanya kasar jika ada yang menghina Islam. Namun dalam keseharian dia mengaku lembut, bahkan berkawan dengan orang-orang yang mendukung Jokowi atau Ahok, dua sosok yang kerap dikritisi oleh sosok alumni aksi 212 dan 412 ini.
Artikel asli : detik.com