Penderita wabah tawa memiliki gejala tertawa yang tidak dapat dihentikan meskipun sebenarnya mereka tidak menginginkannya, yang diikuti oleh sederet gejala aneh lainnya.
Tertawa sering kali mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan, terkadang juga menunjukkan kegembiraan atau terlalu marah, terlalu menyakitkan.
Namun, dalam sejarah, ada wabah yang disebut epidemi tertawa yang pernah membuat pusing para ilmuwan untuk menjelaskannya.
Lelucon ini tampaknya nyata di Tanzania, sebuah negara di Afrika Timur.
Semuanya dimulai pada 30 Januari 1962 di sekolah menengah khusus perempuan yang dikelola oleh para biarawati di desa Kashasha, di wilayah Kagera, Tanganyika (sekarang Tanzania).
Ada 3 siswi yang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
Awalnya orang-orang di sekitar mengira bahwa 3 siswi ini bersenang-senang, hanya tertawa sebentar akan berhenti tapi tidak.
Mereka tidak bisa menghentikan tawa mereka selama berjam-jam.
Ketiga siswi ini tertawa terbahak-bahak hingga pingsan karena kelelahan.
Tidak lama kemudian, penyakit tertawa menyebar ke banyak siswa lain di sekolah tersebut dan kemudian terus menyebar ke sekolah lain di desa sekitarnya.
Seperti dikutip dari eva.vn, 4 Juli 2020, ekspresi umum mereka adalah tawa yang tidak terkendali meskipun mereka tidak terlalu senang, sebaliknya mereka juga memiliki perasaan cemas dan takut.
Mereka mungkin tertawa selama beberapa jam, bahkan berhari-hari, dan kemudian mengembangkan gejala lain seperti ruam, nyeri, dan pingsan.
Dalam waktu singkat, penyakit tertawa ini telah menyebar ke lebih dari 1.000 orang yang sebagian besar adalah pelajar.
Pada 18 April 1962, 14 sekolah di Tanganyika harus ditutup sementara ketika angka kejadian mencapai 60%.
Sejak itu, wabah ini dikenal dengan wabah tawa Tanganyika.
16 Hari Tertawa Terus
Epidemi tertawa dengan cepat menjadi topik hangat, menarik perhatian banyak ahli dan ilmuwan di seluruh dunia.
Menurut penelitian, sebagian besar kasus tawa ini bermula dari seseorang dengan gejala psikologis yang tidak normal, jatuh ke dalam keadaan tawa yang memicu kecemasan, menciptakan efek berantai, yang kemudian menyebar ke orang-orang di sekitarnya.
Secara bertahap, menyebar di lingkungan sekolah dan populasi terkait lainnya.
Gejala wabah tawa biasanya adalah tawa yang tidak dapat dihentikan, tawa hingga tangis, dan tawa biasanya berlangsung dari beberapa jam, bahkan selama 16 hari.
Akibatnya, pasien mungkin mengalami kegelisahan, kecemasan, gerakan tak henti-hentinya, terkadang disertai kekerasan dan pingsan karena terlalu lelah.
Ilmuwan Christian Hempelmann dari Texas A&M University (USA), yang pernah melakukan penelitian tentang epidemi di atas, berpendapat bahwa wabah tawa adalah kasus penyakit psikososial atau psikologis massal, yang mampu menyerang di lingkungan dengan stres tinggi, terutama di lingkungan sekolah, di mana siswa sering menghadapi banyak tekanan tentang studi, tugas, dan ujian.
Christian percaya bahwa wabah tawa Tanganyika adalah penyakit psikologis yang berkaitan dengan kesehatan mental.
Objek yang terinfeksi biasanya adalah seorang pelajar, di bawah banyak tekanan belajar, mencari tawa sebagai cara untuk menghilangkan stres.
Namun pada kenyataannya, tertawa adalah cara pasien menampilkan ketidakpastian psikotik.
Epidemi ini menular di kalangan pelajar karena tekanan yang mereka miliki bersama.
Christian telah menghubungi kasus yang terjadi di Departemen Manajemen Mekanik (DMV) di kota Layafette, Indiana, AS.
Sederet pekerja di sana tiba-tiba mengalami gangguan pernapasan, hingga banyak gedung yang ditutup isolasi dan akhirnya direlokasi.
Setelah itu para ahli datang untuk menginspeksi kawasan ini, namun yang mengejutkan adalah lingkungan tidak tercemar, tidak ada tanda-tanda virus, penyakit menular atau penyakit lainnya.
Pada akhirnya, disimpulkan bahwa ini adalah kasus penyakit psikologis berskala besar.
Saat itu, lingkungan dan kondisi kerja di DMV sangat buruk sehingga banyak pekerja yang merasa tidak nyaman, kesal dan tidak mau bekerja di sana lagi.
Mereka ingin mencari jalan keluar dari situasi tersebut dan akhirnya menyebabkan gagal napas berantai.
Dalam ilmu ada bidang yang disebut gelotologi, ilmu yang mempelajari tentang tertawa dan pengaruhnya terhadap tubuh, terapi dengan tawa, sehingga membawa banyak manfaat bagi psikologi dan kesehatan.
Tertawa dapat menurunkan hormon stres dan meningkatkan endorfin, hormon yang membantu meringankan rasa sakit fisik dan psikologis.
Menurut Christian, dalam wabah tawa Tanganyika, para pasien menggunakan tawa untuk melepaskan tekanan dan penderitaan yang telah mereka kumpulkan selama ini.
Selain wabah tawa Tanganyika yang terjadi pada tahun 1962, perilaku psikologis ini masih sering terjadi di berbagai belahan dunia.
Pada November 2015, sekelompok siswa di sebuah sekolah di Lancashire, Inggris, mengalami mual dan pusing yang tak bisa dijelaskan.
Beberapa kasus serupa pernah terjadi di Kosovo, Afghanistan, dan Afrika Selatan.
Sumber: tribunnewswiki.com