Akibatnya, pasien mungkin mengalami kegelisahan, kecemasan, gerakan tak henti-hentinya, terkadang disertai kekerasan dan pingsan karena terlalu lelah.
Ilmuwan Christian Hempelmann dari Texas A&M University (USA), yang pernah melakukan penelitian tentang epidemi di atas, berpendapat bahwa wabah tawa adalah kasus penyakit psikososial atau psikologis massal, yang mampu menyerang di lingkungan dengan stres tinggi, terutama di lingkungan sekolah, di mana siswa sering menghadapi banyak tekanan tentang studi, tugas, dan ujian.
Christian percaya bahwa wabah tawa Tanganyika adalah penyakit psikologis yang berkaitan dengan kesehatan mental.
Objek yang terinfeksi biasanya adalah seorang pelajar, di bawah banyak tekanan belajar, mencari tawa sebagai cara untuk menghilangkan stres.
Namun pada kenyataannya, tertawa adalah cara pasien menampilkan ketidakpastian psikotik.
Epidemi ini menular di kalangan pelajar karena tekanan yang mereka miliki bersama.
Christian telah menghubungi kasus yang terjadi di Departemen Manajemen Mekanik (DMV) di kota Layafette, Indiana, AS.
Sederet pekerja di sana tiba-tiba mengalami gangguan pernapasan, hingga banyak gedung yang ditutup isolasi dan akhirnya direlokasi.
Setelah itu para ahli datang untuk menginspeksi kawasan ini, namun yang mengejutkan adalah lingkungan tidak tercemar, tidak ada tanda-tanda virus, penyakit menular atau penyakit lainnya.
Pada akhirnya, disimpulkan bahwa ini adalah kasus penyakit psikologis berskala besar.
Saat itu, lingkungan dan kondisi kerja di DMV sangat buruk sehingga banyak pekerja yang merasa tidak nyaman, kesal dan tidak mau bekerja di sana lagi.
Mereka ingin mencari jalan keluar dari situasi tersebut dan akhirnya menyebabkan gagal napas berantai.
Dalam ilmu ada bidang yang disebut gelotologi, ilmu yang mempelajari tentang tertawa dan pengaruhnya terhadap tubuh, terapi dengan tawa, sehingga membawa banyak manfaat bagi psikologi dan kesehatan.
Tertawa dapat menurunkan hormon stres dan meningkatkan endorfin, hormon yang membantu meringankan rasa sakit fisik dan psikologis.
Menurut Christian, dalam wabah tawa Tanganyika, para pasien menggunakan tawa untuk melepaskan tekanan dan penderitaan yang telah mereka kumpulkan selama ini.
Selain wabah tawa Tanganyika yang terjadi pada tahun 1962, perilaku psikologis ini masih sering terjadi di berbagai belahan dunia.
Pada November 2015, sekelompok siswa di sebuah sekolah di Lancashire, Inggris, mengalami mual dan pusing yang tak bisa dijelaskan.
Beberapa kasus serupa pernah terjadi di Kosovo, Afghanistan, dan Afrika Selatan.
Sumber: tribunnewswiki.com