“Jika Anda memiliki seekor keledai dan sebuah gerobak, Anda memuat makanan dan Anda menghabiskan tiga pekan untuk sampai ke makam,” kata peneliti Universitas Nottingham, Rian Thum, yang meneliti Ordam dan makam lainnya serta agama mereka.
“Tempat di mana saya hanya pernah melihat seorang pria Uighur dewasa menangis adalah di makam,” imbuhnya.
Tapi pada 1990-an, pemerintah China makin khawatir atas perluasan masjid-masjid dan makam di Xinjiang. Para pejabat memandang berkumpulnya para peziarah sebagai penyulut bagi pengabdian dan ekstremisme agama yang tidak terkendali, dan serentetan serangan antipemerintah oleh orang Uighur yang tidak puas membuat pihak berwenang gelisah.
Pihak berwenang melarang festival dan ziarah di Ordam pada tahun 1997, dan tempat suci lainnya ditutup pada tahun-tahun berikutnya.
Tetap saja, beberapa pengunjung dan turis terus berdatangan untuk berkunjung.
“Seorang Uighur yang berhasil mengunjungi Ordam mengatakan kepada beberapa penduduk desa terdekat bahwa dia pernah, dan mereka mulai menangis dan satu lagi meminta sedikit debu dari jaketnya,” kenang Mr. Thum. “Ini memberi kesan betapa pentingnya tempat ini bagi orang-orang, bahkan ketika mereka tidak dapat berkunjung.”
Penutupan dan larangan kunjungan ke makam sebelumnya merupakan awal dari kampanye yang lebih agresif oleh pemerintah.
Pada awal 2018, makam Ordam, terisolasi di wilayah terpencil dan hampir 50 mil dari kota terdekat, telah diratakan, penghancuran salah satu warisan paling penting Uighur. Citra satelit dari waktu itu menunjukkan masjid di makam itu, ruang salat, dan rumah sederhana di mana penjaga tinggal diruntuhkan. Tak ada kabar apa yang terjadi dengan jambangan raksasa di mana para peziarah meninggalkan daging, gandum, dan sayuran yang dimasak penjaga menjadi hidangan berkat.
“Anda melihat kenyataan dan apa yang tampaknya merupakan upaya sadar untuk menghancurkan tempat-tempat yang penting bagi Uighur, justru karena mereka penting bagi Uighur,” jelas Thum.