Akan tetapi, salah satu daya tarik utama wisata Gunung Merapi usai letusan pada 2010 adalah sekelumit kisah tentang Mbah Maridjan.
Di kaki Gunung Merapi, banyak cerita tentang Mbah Maridjan dan momen-momen terakhirnya mejadi kuncen yang mengemban tanggung jawab sampai penghabisan.
Seperti karakteristik folklore pada umumnya, beberapa peristiwanya lalu dimitoskan dan terbukti memperkuat kearifan lokal.
Bangkai mobil yang menjadi saksi ganasnya letusan Gunung Merapi pada 2010 dipajang di museum barang-barang rusak akibat letusan di kawasan Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.
Bangkai mobil yang menjadi saksi ganasnya letusan Gunung Merapi pada 2010 dipajang di museum barang-barang rusak akibat letusan di kawasan Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.
Kalimat penuh makna yang diutarakan Mbah Maridjan tertulis dalam spanduk di lokasi yang sebelumnya adalah kediamannya di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.
Kalimat penuh makna yang diutarakan Mbah Maridjan tertulis dalam spanduk di lokasi yang sebelumnya adalah kediamannya di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.
Bagian dalam bunker untuk tempat berlindung darurat dari letusan Gunung Merapi di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.
Sosok Mbah Maridjan sudah tiada bersamaan dengan letusan itu tetapi namanya ternyata mendatangkan banyak berkah bagi penduduk setempat.
Pesan dia yang berjuta makna, “Ajining manungso iku gumantung ono ing tanggung jawabe marang kewajibane (Kehormatan seseorang dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya),” terpampang di gerbang petilasannya.
Sesuai perkataannya, Mbah Maridjan menunaikan tanggung jawabnya menjadi kuncen Gunung Merapi.
Dia ditemukan tewas di seorang diri di kamarnya saat oleh petugas yang melakukan evakuasi pada 2010.
Kematiannya yang dramatis dikemas dalam cerita yang semakin penuh pesan untuk direnungkan ketika dituturkan pemandu wisata.
Hal itu membuat siapa pun yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi menyadari lagi betapa manusia tidak berdaya menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat.
Pemandu wisata yang meminta turis berteriak, “Mbah Maridjan, roso!” menjadi bukti bahwa Gunung Merapi dan Mbah Maridjan telah menjadi identitas yang kini tak terpisahkan.
Wisatawan bisa menyimaknya dengan membeli paket wisata perjalanan menggunakan mobil kap terbuka. Sungguh, harga yang dibayarkan sepadan dengan pengalaman yang diberikannya, wisata yang bukan sekadar hura-hura tetapi penuh kontemplasi.
Berdasarkan riset dancatatan sejarah, letusan-letusan kecil Gunung Merapi terjadi setiap 2-3 tahun dan yang lebih besar terjadi sekira 10-15 tahun sekali.
Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930.
Sementara pada era Indonesia modern, tercatat terjadi letusan pada 22 November 1994 dan menewaskan 60 orang.
Pada 19 Juli 1998 terjadi letusan besar tetapi material vulkanik yang dikeluarkan mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa.
Pada 2001 sampai 2003, tercatat aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai erupsi ledakan tetapi membentuk kubah lava. Ramalan Jayabaya
Tiga tahun berselang sesuai prediksi, Gunung Merapi kembali aktif pada 2006 dengan terus-menerus meluncurkan awan panas yang memaksa warga mengungsi dan menewaskan dua orang di Kaliadem. Mereka diterjang awan panas meski sempat masuk bunker
Sementara rangkaian letusan pada Oktober dan November 2010 dicatat sebagai yang terbesar sejak 1872. Korban meninggal sedikitnya 273 orang.
Artikel asli : pikiran-rakyat.com