Jangan Anggap Habib Rizieq Bengal, Sidang Virtual Memang Punya Dampak Serius

  • Share

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan analisis terkait dampak persidangan online yang berlangsung sejak pandemi Covid-19 terhadap psikologis terdakwa maupun majelis hakim.

Analisis disampaikan Reza pascapolemik penolakan eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab alias HRS mengikuti persidangan secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Menurut pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM itu, persidangan daring bukan sekadar masalah format atau mekanisme penyelenggaraan semata.

“Ketika persidangan dilangsungkan secara virtual, ada sekian banyak dampak psikologis yang muncul. Sisi ini yang tampaknya vakum dalam cermatan lembaga dan sarjana hukum,” ucap Reza kepada JPNN.com, Senin (22/3).

Oleh karena itu, kata Reza, ketika HRS menolak sidang secara daring, narasi yang seketika terbangun adalah perendahan terhadap lembaga peradilan dan penghinaan kepada hakim.

Dia lantas menyampaikan sejumlah contoh terkait dampak psikologis dari persidangan daring, baik terhadap terdakwa maupun sisi hakim selaku pembuat keputusan.

“Beberapa contoh, imigran ilegal, ketika disidang secara daring, lebih besar kemungkinannya untuk dideportasi,” kata peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia itu.

Berikutnya, kriminal yang mengajukan jaminan lewat persidangan jarak jauh, jika dikabulkan, ternyata harus membayar jaminan dengan besaran hingga hampir seratus persen lebih tinggi.

Lainnya, pemeriksaan terhadap saksi pada sidang virtual cenderung menghasilkan penilaian bahwa saksi kurang cerdas, terlihat kurang menyenangkan, dan kesaksiannya kurang akurat.

“Terdakwa yang diadili secara virtual juga merasa didehumanisasi dan disconnected. Sehingga mereka lebih sering berteriak dan keluar dari ruang sidang,” tutur Bang Reza.

Bahkan, posisi kamera yang menyorot hakim pun berpengaruh terhadap penilaian khalayak terkait wibawa dan kemampuan hakim mengatur jalannya persidangan.

“Kendala teknologi bisa menambah keraguan pihak-pihak di ruang sidang,” ucap pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau itu.

Jadi, lanjut Reza, benar bahwa terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah harus dihadirkan secara paksa. Namun di balik keharusan itu, apalagi ketika persidangan diadakan dalam format video conference, ada kompleksitas psikis yang harus dikelola secermat mungkin.

“Bukan langsung disimpulkan sebagai, katakanlah, kebengalan terdakwa. Andai diabaikan, konsekuensi buruknya tidak hanya mengena kepada terdakwa, tetapi juga kepada hakim,” sebutnya.

Dampak tersebut menurut Reza, seperti pada contoh persidangan daring imigran ilegal dan besaran jaminan yang diterima pelaku kriminal tadi.

“Membesarnya kemungkinan terdakwa memperoleh putusan yang memberatkan. Ini disebabkan oleh kegagalan penasihat hukum melakukan pembelaan secara maksimal akibat kendala komunikasi,” ucap Reza.

Selain itu, katanya, hakim memiliki beban ekstra dalam menunjukkan muruah sekaligus kemampuannya mengendalikan jalannya persidangan.

“Kehormatannya (hakim, red) ditentukan di situ. Ditambah dengan masalah-masalah komunikasi yang muncul, kualitas putusannya akan terpengaruh,” pungkas Reza Indragiri Amriel.

Artikel asli : jpnn.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *