Kisah Pemuda Bertato Hijrah di Semarang, Bosan Hidup di Jalanan Kini Jadi Muadzin

  • Share

Ahmad Nur Kusuma Yuda  atau akrab disapa Yuda pemuda yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato menganggap hidupnya bak rolling coaster.

Dulu dia menjalani hidupnya begitu keras di jalanan.

Kini, dia memilih menjalani hidup dengan tenang di Masjid Jami Al-Istiqomah Jalan Kusuma Wardani, Pleburan, Kota Semarang.

Bahkan, kini dia memiliki nama baru  yang diberikan para ulama yakni Saad  Al-Maliki.

Nama tersebut diambil dari nama satu sahabat Rasulullah.

Ahmad Nur Kusuma Yuda  sedang salat Zuhur di Masjid Jami Al-Istiqomal,Jalan Kusuma Wardani, Pleburan, Kota Semarang, Sabtu (9/1/2021).
Ahmad Nur Kusuma Yuda  sedang salat Zuhur di Masjid Jami Al-Istiqomal,Jalan Kusuma Wardani, Pleburan, Kota Semarang, Sabtu (9/1/2021). (Tribun Jateng/ Iwan Arifianto)

“Alasan saya memilih hijrah karena bosan hidup di jalanan.

Hati selalu bertanya-tanya mau sampai kapan hidup terus di jalanan,” ujarnya kepada Tribunjateng.com, Sabtu (9/1/2021).

Timbulnya rasa bosan itu, kata dia, muncul sebelum bulan ramadan tahun 2020.

Ahmad Nur Kusuma Yuda sedang salat Zuhur di Masjid Jami Al-Istiqomah, Jalan Kusuma Wardani, Pleburan, Kota Semarang, Sabtu (9/1/2021).
Ahmad Nur Kusuma Yuda sedang salat Zuhur di Masjid Jami Al-Istiqomah, Jalan Kusuma Wardani, Pleburan, Kota Semarang, Sabtu (9/1/2021). (Tribun Jateng/ Iwan Arifianto)

Dia pun langsung menelepon pamannya di Semarang lantas mengutarakan niatnya untuk taubat dan memilih jalan hijrah.

“Saya anggap hal itu sebagai hidayah, Allah menuntun saja dan membuka hati saya,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, selepas mendapatkan hidayah itu.

Dia pun kembali dari Jakarta ke Kota Semarang.

Pasalnya, mulai dari Ayah dan keluarga intinya ada di Semarang.

“Di sini saya bantu urus Masjid, dari adzan sampai bersihkan Masjid,” katanya.

Dalam tahap ini, ujar dia, perasaannya lebih tenang.

Tak semrawut seperti dulu saat di jalanan.

Apalagi dia juga bisa sembari merawat Ayahnya yang sakit stroke.

“Sekarang Ayah sakit, dia senang sudah ada saya di sini.

Dulu Ayah kerja di Jakarta jual alat kesehatan,” bebernya.

Dia pun mengenang, perjalanan bisa terjerumus ke kehidupan jalanan.

Dia sedari kecil sudah diintensifkan oleh ayahnya masuk ke Pondok Pesantren.

Hal itu dilakukan saat Yuda mulai menempuh pendidikan PAUD.

Dia pernah mencicipi pesantren di Bogor, Klaten, Tangerang dan Salatiga.

“Ketika di Salatiga di sebuah Pondok Dakwah.

Saya di situ mulai nakal dan memilih kabur beberapa kali terus saya dipulangkan ke rumah.

Sehari di rumah saya memilih kabur  ke jalanan,” terangnya.

Singkat cerita, selama hidup di jalanan dari lulus SD hingga tahun 2020 asam garam hidup di jalanan pernah dialami.

Mulai dari perkelahian, minuman keras dan lainnya.

Dia paling teringat saat temannya ditemukan meninggal di mutilasi oleh orang tak dikenal di Tangerang beberapa tahun silam.

“Ada suka dan dukanya hidup di jalanan.

Tetapi yang jelas memang tak mudah hidup di jalanan,” terangnya.

Dia mengakui, hanya ingin terus berdakwah di sisa hidupnya ini.

Sembari mendalami ilmu agama yang sempat ditinggalkan.

Dia juga sedang sibuk  mulai kembali menghafalkan Al-quran.

“Dulu sewaktu masih di Pondok Pesantren sempat hafalan sampai 24 juz.

Sekarang mulai saya cicil lagi,” katanya.

Menurutnya,  sejauh ini telah mengajak empat temannya yang semasa dulu hidup di jalanan untuk kembali ke jalan Allah.

“Target saya mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk berbuat kebaikan dan kembali ke jalan Allah. Soal orang itu hijrah atau tidak itu urusan Allah,” ungkapnya.

Dia memiliki rencana selepas ramadan tahun ini akan dakwah selama empat bulan ke berbagai wilayah terluar di Indonesia seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan dan wilayah lainnya.

“Kita harus mengorbankan waktu, tenaga, dan harta kita untuk jalan dakwah,” paparnya.

Artikel asli : tribunnews.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *