Kata ‘ghosting’ belakangan trending. Berseliweran digunakan di sosial media. Kata itu bermakna menghilang tiba-tiba tanpa kontak. Entah itu melalui telepon, email, media sosial, maupun secara langsung.
Tulisan ini tak hendak membahas mengapa kata itu mendadak trending, ya. Namun menyoroti etika berkomunikasi generasi milenial yang sudah lama dikeluhkan.
Sebuah survei dilakukan One Poll terhadap 2.000 responden di Amerika Serikat. Hasilnya, mayoritas generasi milenial tidak menguasai kemampuan komunikasi dengan baik.
Tiga puluh persen milenial pilih membatalkan dan menolak untuk datang ke sebuah acara yang banyak orang karena malas/gugup berkomunikasi. Delapan dari 10 mengungkapkan bahwa mereka lebih percaya diri berkomunikasi lewat pesan singkat dan aplikasi chat.
Masalahnya, mereka tak menyadari bahwa berkomunikasi melalui teknologi komunikasi pun ada etikanya, sebagaimana bertatap muka secara langsung.
Tak hanya menggunakan teks yang sulit dimengerti, pemilihan emoticon dan stiker yang melanggar norma kesopanan, mereka juga seringkali tetiba raib, seperti halnya pelaku ghosting, tulisan hanya di-read tanpa direspons.
Milenial tak menyadari kalau perilaku ini melanggar etika universal. Mereka pada hakikatnya tidak mau ambil pusing berbagai hal yang mungkin perlu dipertimbangkan.
“Etika bersifat universal dan bersumber dari nurani. Melintas zaman, tak terkait dengan dinamika perkembangan kemajuan teknologi,” jelas Debra Fine, seorang pakar komunikasi dan penulis buku “The Fine Art of Small Talk.”
Ia mencatat, di era yang konon teknologi komunikasi sudah sedemikan maju, namun justru miskomunikasi lebih sering terjadi.
Pada generasi sebelumnya, di mana teknologi komunikasi masih sangat terbatas, kesalahpahaman seperti ini bisa dihindari. Komunikasi lebih lancar. Membaca hasil riset itu, saya sungguh sepakat.
Sejarah Islam pernah mencatat cara berkomunikasi yang sangat menakjubkan pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab. Di tahun ke-14 H, ia mengirimkan pasukan Muslimin dalam dua ekspedisi besar sekaligus.
Satu ke Barat membebaskan wilayah Syam yang waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Romawi, dan satu lagi ke Timur untuk membebaskan wilayah Persia. Sementara Sang Khalifah memimpin pergerakan pasukan dari kota Madinah.
Jangan bayangkan hari ini, di mana komandan pasukan ada di Pentagon, Amerika, bisa memerintahkan menyerang desa-desa terpencil di Afghanistan dengan mudahnya.
Pada waktu itu komunikasi tercepat hanya bisa dilakukan melalui merpati pos. Dan jarak wilayah peperangan dengan Madinah harus ditempuh dengan kuda selama berbulan-bulan.
Khalifah Umar sempat memindahkan pasukan yang dipimpin Khalid ibn Walid yang awalnya ditugaskan ke Persia untuk berbalik arah ke Syam dan membantu pasukan yang dipimpin Abu Ubaidah bin Jarrah yang waktu itu kondisinya terdesak.
Sejarawan banyak berspekulasi tentang bagaimana cara Khalifah berkomunikasi dengan pasukan Muslimin. Karena instruksi yang diberikan detail, seakan ia juga berada di medan jihad.
Seperti larangan untuk menyeberang sungai dan bertahan di Perang Qadisiyyah. Namun, pasukan kecil yang dipimpin Salit bin Qais tetap menyeberang dari Marwahah, tempat mereka bertahan, ke Qus an-Natif, markas pasukan Persia. Akibatnya, banyak prajurit yang gugur.
Dikisahkan, tiap hari Amirul Mukminin menunggu kabar dari dua pasukan itu di pinggir kota Madinah. Tiap ada musyafir yang melintas, ia akan bertanya, adakah membawa kabar dari peperangan di Syam dan Persia.
Beruntunglah para utusan yang membawa kabar itu amanah. Apa jadinya kalau seperti milienial zaman now yang tiba-tiba ghosting, sehingga kabar pernah tak sampai?
Artikel asli : republika.co.id