“Keyakinan saya saat itu, bikin kaget. Saya tunggu saja, mendekati subuh kok gak mati, berarti gak jadi ini. Ternyata hanya lewat saja.
Kemudian jam 5 pagi hp saya nyalakan, saya itu dengan pak leknya Mbah Lukman, adiknya Kiai Maimoen Zubair kemarin itu wafat Jumat jam 06.15,” jelasnya.
“Pak Lek Mbah, Lukman itu teman akrab saya di madrasah. tiap ketemu saya selalu membicarakan kematian. jam 6 lebih seperempat, Ia Meninggal. La iya, malaikat izrail itu kok bikin kaget, itu apa maksudnya lewat depan rumah lagi? haa haaa maksudnya bagaimana malaikat itu haa haa,” papar Gus Baha.
Jadi menurut Gus Baha, berita awal tentang Pak Lek Mbah Lukman setiap kali dengan Gus Baha, senangnya imembahas kematian.
“Dia sudah cuci darah, jadi yakin wafat, kalu sama saya itu sering bahas itu (kematian). Saya tambah yakin..Jadi saya gak awam tulen, ya gak GR tapi gak awam tulen, pokoknya harus syukur laah.. Ditakdir tidak awam tulen.,” jelas Gus Baha yang sejak kecil berda dalam didikan Syaikhina KH. Maimoen Zubairdi Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang. Pondok Al-Anwar tepatnya berada sekitar 10 km arah timur dari rumahnya.
Santri yang Cerdas
Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga merupakan sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhina KH. Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan.
Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta’bir dan menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke al-Anwar. Hingga Gus Baha dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina KH. Maimoen Zubair.
Dalam sebuah cerita, Gus Baha pernah dipanggil untuk mencarikan ta’bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina KH maimoen Zubair pun terharu dan ngendikan “Iyo Ha’… Koe pancen cerdas tenan” (Iya Ha’… Kamu memang benar-benar cerdas).
Gus Baha juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa’izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. “Santri tenan iku yo koyo Baha’ iku….” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha’ itu….) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina.
Selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha’ untuk mondok di Rushoifah atau Yaman.
Namun Gus Bah’ menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP Al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.
Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan.
Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para santri pergi sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Hingga pada akhirnya Gus Baha bersedia namun hanya satu bulan sekali.
Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha’ juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur.
Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha lakukan secara rutin sejak 2006 hingga sekarang.
Artikel asli : tribunnews.com