Haramkah Chatting dengan Teman Lawan Jenis?

  • Share

Jika ada unsur-unsur demikian ia adalah dilarang meskipun pembicara itu mempunyai niat yang baik atau niatnya biasa-biasa saja. Adapun khalwat, hukumnya dilarang dalam agama Islam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya:

 “Janganlah ada di antara kalian yang berkhalwat dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Khalwat adalah perbuatan menyepi yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram dan tidak diketahui oleh orang lain. Perbuatan ini dilarang karena ia dapat menyebabkan atau memberikan peluang kepada pelakunya untuk terjatuh dalam perbuatan yang dilarang.

Kerana ada sabda Nabi SAW bermaksud: “Tiadalah seorang lelaki dan perempuan itu jika mereka berdua-duaan melainkan syaitanlah yang ketiganya,” (Hadis Sahih).

Khalwat bukan saja dengan duduk berduaan. Tetapi berbual-bual melalui telepon di luar keperluan syar’i juga dianggap berkhalwat. Karena mereka sepi dari kehadiran orang lain, meskipun secara fisik mereka tidak berada dalam satu tempat. Namun melalui telepon mereka lebih bebas membicarakan apa saja selama berjam-jam tanpa merasa dikawal oleh siapapun juga.

Dan haram juga ialah perkara-perkara syahwat yang membangkitkan hawa nafsu contohnya yang berlaku pada kebanyakkan muda-mudi atau remaja-remaja sekarang dimana sms atau email atau Facebook atau sejenisnya menjadi alat untuk memadu kasih.

Semuanya dijadikan alat memuaskan nafsu di antara pasangan dan masing-masing melunaskan keinginan dan nafsu semata-mata. Membincangkan perkara-perkara cabul lebih-lebih lagi hukumnya adalah haram.

Alhasil, Hukum chatting sama dengan menelepon sebagai mana yang sudah kita terangkan di atas. Artinya chatting di luar keperluan yang syar’i termasuk khalwat.

Begitu juga dengan SMS. Walaupun dengan niat berdakwah. Karena berdakwah kepada lawan jenis bukanlah suruhan agama kerana Allah telah menetapkan untuk berdakwah kepada lelaki adalah lelaki juga, begitu juga sebaliknya.

Namun bila ada tuntutan syar’i yang darurat, maka itu diperbolehkan sesuai keperluan. Tentunya dengan syarat-syarat yang sudah kita jelaskan di atas. Di sinilah menuntut kejujuran kita kepada Allah dalam mengukur sejauhmana urusan kita itu satu keperluan atau mengikut nafsu semata-mata.

sumber:kabarhijrah.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *