Tatkala Dua Pembesar NU dan Muhammadiyah Saling Mengimami Sholat Subuh

  • Share

Dalam sebuah perjalanan haji, tokoh Muhammadiyah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA satu kapal dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984 KH Idham Chalid .

Buya HAMKA dan Kiai Idham secara bergantian mengimami salat di Kapal dalam perjalanan tersebut. Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing. Bagi kalangan Nahdliyin, qunut diyakini sebagai sunnah haiat dalam salat Subuh. Pasalnya, mayoritas warga NU, termasuk Kiai Idham, merupakan penganut mazhab Syafi’i .

Sebagaimana diketahui, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan ulama yang mengikuti pendapatnya berpandangan bahwa qunut bukan sekadar sunnah biasa, melainkan sangat dianjurkan. Bahkan, kalau ditinggal atau tertinggal, sengaja ataupun lupa, maka disunnahkan sujud sahwi bagi orang tersebut.

Sebaliknya, kalangan Muhammadiyah tidak memandang qunut sebagai suatu sunnah dalam salat Subuh. Artinya, mereka pada umumnya tidak melakukannya dalam salat dua rakaat di waktu pagi itu.

Namun, Subuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya.

Pun Buya Hamka. Saat didapuk menjadi imam, ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut.

Kedua ulama itu tidak lain menerapkan akhlakul karimah. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada ‘perang dalil’ yang menuntut keabsahan, menilai diri paling benar dan menuduh pandangan orang lain yang berbeda salah.

Pengetahuan keduanya tidak ada yang meragukan. Sederet karya dan jabatan yang pernah diamanahkan kepada mereka menjadi pembuktiannya. Justru, dengan banyaknya bacaan yang telah mereka serap dan keluasan pengetahuannya menjadikan mereka lebih ‘arif dalam menyikapi perbedaan.

Pengetahuan mereka telah mendarah daging, serta meresap dalam hati. Hal tersebut tidak hanya keluar dalam dimensi wacana, melainkan mewujud dalam sikap.

Madzhab Penduduk Irak
Sebagaimana diketahui, di antara empat mazhab, ada juga yang berpandangan bahwa qunut bukanlah bagian dari sunnah dalam salat Subuh, yakni Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau dikenal sebagai Imam Hanafi.

Sikap Kiai Idham tersebut dilandasi atas kisah Imam Syafi’i yang tidak berqunut kala shalat Subuh di Masjid Imam Hanafi.

Ceritanya begini. Suatu ketika, Imam Syafi’i pernah tidak melakukan qunut saat melaksanakan salat Subuh di Masjid Agung Abu Hanifah yang terletak di dekat makam Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau yang dikenal Imam Hanafi. Ia memang sengaja melakukan hal tersebut, tidak dalam keadaan lupa.

Thaha Jabir Fayyadl al-Alwani menceritakan dalam kitabnya yang berjudul Adabul Ikhtilaf fil Islam (Pimpinan Mahkamah Syar’iyah dan Urusan Agama, Qatar, h. 119), bahwa Imam Syafi’i ditanya perihal alasannya tidak berqunut. Ulama asal Palestina yang wafat di Mesir itu menjawabnya berikut. “(Bagaimana) aku mempertentangkannya, sementara aku berada di hadapannya.”

Beliau pun kembali menyampaikan alasannya kenapa tidak berqunut. “Terkadang, kami mengikuti madzhabnya penduduk Irak.”

Dalam riwayat lain, KH Hasyim Asy’ari menceritakan dalam kitabnya yang berjudul At-Tibyan fin Nahyi ‘an Muqathi’atil Arham, wal Aqarib, wal Ikhwan, bahwa Imam Syafi’i menziarahi Imam Hanafi selama tujuh hari dengan membaca Al-Qur’an.

Setiap kali mengkhatamkannya, ia menghadiahkan pahalanya untuk Imam Hanafi. Saat melaksanakan salat Subuh di Masjid Imam Hanafi, ulama bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu tidak membaca qunut karena menjaga adab terhadap sosok Imam Hanafi.

“Karena Imam Hanafi tidak menyebut qunut sebagai suatu sunnah pada salat Subuh, maka saya meninggalkannya karena menjaga adab kepadanya.”

Adab atau Akhlak
Laman resmi Nahdlatul Ulama (NU) yang memubilasikan kisah ini berpendapat kisah Kiai Idham dan Buya Hamka dalam menyikapi perbedaan tersebut memberikan beberapa pelajaran penting bagi Muslim agar tidak perlu kaku dalam beragama.

Semua berhak memilih mazhab yang diyakini. Lebih dari itu, satu hal yang perlu didahulukan adalah adab atau akhlak. Kita tentu masih ingat sebuah kalimat penting yang selalu ditempel di sekolah, yakni ‘Adab itu di atas ilmu’.

Dalam menyikapi perbedaan, dua pembesar organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia itu memiliki hati yang besar.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali pernah menyampaikan, dalam pengajian kitab Syarh al-Waraqat, bahwa perbedaan di antara para ulama disebabkan dua hal, yakni pemilihan dalil dan pemahaman terhadap dalil. Kita sebagai awam tinggal mengikuti pandangan mereka.

Artikel asli : sindonews.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *