Nama besar Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mulai melejit di Baghdad pada tahun 521 H/1127 M, saat usianya 50 tahun.
Beliau dikenal sebagai ahli hukum –pembawa faham Hambali– bukan sebagai ahli tasawuf atau pun seorang sufi.
John Spencer Trimingham (17 November 1904 – 6 March 1987) dalam bukunya berjudul The Sufi Orders in Islam merinci, Al-Jilani mengajar di madrasah pada hari Jum’at pagi dan Senin sore. Sementara Ahad pagi digunakan di surau.
Ajaran al-Jilani membawa pengaruh besar terhadap masyarakat luas. Banyak kalangan Kristen dan Yahudi yang masuk Islam karena dakwah dan ajarannya.
Disebutkan bahwa para simpatisan yang hadir dalam majelisnya mencapai 70.000 orang.
Jika mengajar, al-Jilani duduk di kursi yang tinggi. Beliau mesti berbicara lantang dan keras agar semua muridnya yang banyak itu bisa mendengar suaranya.
Abul Husein Ali Husni Nadwi dalam Kitab Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam mengutip Syaikh Umar al-Kaisani mengatakan, bahwa majelis pengajian al-Jilani dipenuhi oleh orang-orang Islam dari mualaf kalangan Kristen dan Yahudi, bekas para perampok, pembunuh dan para penjahat.
Dia menyebutkan bahwa al-Jilani telah mengislamkan orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih dari 5000 orang dan menundukkan (menyadarkan) lebih 100.000 orang dari kalangan penjahat.
Hanya saja, Imam Adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya Siyar A‟lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, ”Lebih dari lima ratus (bukan 5.000) orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Al-Nadwi juga menulis aktivitas keseharian al-Jilani hampir tidak mengenal istirahat.
Di siang dan malam hari ia selalu mengadakan pengajian. Materi yang disampaikan meliputi, tafsir, hadis, ushu fiqh dan ilmu lain yang berkaitan dengannya.
Seusai salat zuhur ia memberikan fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum.
Di sore hari sebelum salat maghrib, beliau membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah salat maghrib selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun.
Sebelum berbuka beliau menjamu makan malam tetangganya. Sesudah salat isya’ berliau beristirahat sejenak di kamarnya sebagaimana layaknya tradisi para wali.
Ia mencurahkan waktu siang harinya untuk mengabdi pada umat manusia, sementara di malam harinya untuk mengabdi pada penciptanya.
Rendah Hati
Al-Jilani mempunyai kepribadian yang tinggi. Ia sangat rendah hati (tawadhu’) kapada sesamanya.
Akhlaknya mulia dan lapang dada. Kerendahan hatinya bisa ditandai dengan keakrabannya dalam pergaulannya dengan anak-anak, para fakir miskin dan tetangganya.
Ketakwaannya kepada Allah SWT, senantiasa tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.
Mengenai keluhurannya pribadinya, Haradah orang sezamannya mengatakan:
“Saya tidak pernah melihat seseorang yang sangat mulia, lapang dada, rendah hati, dapat dipercaya seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Ia sangat memperhatikan anak-anak dan juga orang tua”.
Imam al- Isybili berkomentar, bahwa al-Jilani figur yang berwibawa, cepat menangis karena ingat Allah dalam berzikir, lembut hati, dermawan, dalam ilmunya, serta luhur budinya.
Demikian pula al-Baghdadi menyanjungnya dengan menyebutnya, bahwa ia jauh dari perbuatan keji (fakhsya’ wa munkar), dekat dengan kebenaran serta dekat kapada Allah SWT.
Al-Jilani pernah mengatakan, bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan kepada orang miskin, dan paling mulia adalah berbudi luhur.
Selanjutnya ia mengatakan, seandainya dunia ini menjadi miliknya, maka akan diberikan kepada yang lapar.
Dan disebutkan dalam “Qalaid al-Jawahir”, bahwa setiap malam ia menyuruh membentangkan tikar untuk makan bersama-sama tamu dan bergaul bersama kaum lemah.
Artikel asli : sindonews.com