Sejak beberapa bulan terakhir, masyarakat “dihebohkan” dengan prediksi akan adanya peristiwa besar pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 2020 ini.
Peristiwa yang dimaksud adalah terjadinya semacam suara besar yang maha dahsyat yang akan mengejutkan semua warga dunia. Kemudian setelah itu, pada bulan Syawwalnya akan terjadi huru-hara dan kekacauan di mana-mana serta perselisihan antar kelompok yang melibatkan seluruh warga dunia pada bulan Zulqa’dah.
Lalu pada bulan Zulhijjah dan Muharramnya akan terjadi perperangan yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Orang yang akan selamat dari peristiwa besar itu hanyalah mereka yang diam di dalam rumahnya sembari bertasbih menyucikan Allah SWT.
Informasi yang bersifat prediktif ini telah menyebar hampir ke semua lapisan masyarakat, termasuk ke keluarga penulis. Beberapa kali berkomunikasi dengan orangtua, mereka selalu menyebutkan sambil mempertanyakan kebenaran prediksi tersebut.
Bahkan di banyak media sosial, masyarakat pun merasa khawatir dan cemas kalau-kalau peristiwa itu benar-benar akan terjadi. Asumsi tersebut diperkuat lagi dengan banyaknya peristiwa-peristiwa aneh belakangan ini, mulai dari musibah wabah corona yang menjangkiti seluruh warga dunia, Masjidil Haram yang sempat ditutup untuk beribadah, serta bunyi aneh yang tidak diketahui sumbernya beberapa hari yang lalu oleh sebagian masyarakat Jakarta, Depok, dan Bogor, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya sekarang adalah dari mana sumber informasi-informasi tersebut berasal serta sejauh mana tingkat akurasinya? Setelah melakukan kajian sederhana dan mendengarkan keterangan dari dai-dai yang mempopulerkan informasi tersebut, maka penulis dapatkan bahwa sumber utama pengambilan informasi tersebut adalah dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis, di antaranya Imam Nu’aim ibn Hammad dalam kitabnya al-Fitan, Imam Abu Bakar ibn Abi ‘Ashim al-Syaibani dalam kitabnya al-Ahad wa al-Matsani, Abu Sa’id al-Syasyi dalam kitabnya Musnad al-Syasyi, Imam al-Thabarani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir, Imam al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak, dan masih banyak yang lain.
Masing-masing dari riwayat tersebut mempunyai redaksi yang agak sedikit berbeda, namun dengan substansi dan pengertian yang hampir sama dengan apa yang penulis jelaskan di paragraf pertama dari tulisan ini. Di antaranya ada yang bersumber dari Sahabat Abdullah ibn Mas’ud seperti riwayat Nu’aim ibn Hammad dan al-Syasyi, ada juga yang bersumber dari Sahabat Fairuz al-Dailami seperti riwayat Abu Bakr ibn Abi ‘Ashim dan al-Thabarani, serta dari Sahabat Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Hakim. Namun perlu diketahui bahwa hampir semua ahli hadis mendhaifkan riwayat tersebut. Imam al-Hafidz al-Haitsami menghukuminya sebagai hadis Matruk (semi palsu) dan bahkan Imam al-Dzahabi dalam Talkhis-nya dan Ibn al-Jauzi dalam al-Maudhu’at-nya menggolongkannya sebagai hadis Maudhu’ (palsu).
Alasan mereka adalah karena di dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi yang bernama Abdul Wahhab ibn al-Dhahhak yang menurut Imam al-Nasa’i, Abu Ja’far al-‘Uqaili, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Atsqalani ia adalah seorang matruk al-hadis (perawi yang dicurigai sebagai seorang pendusta). Imam Shalih ibn Muhammad al-Hafizh menilainya sebagai perawi yang mungkar (sering salah dan lalai dalam meriwayatkan hadis). Bahkan Imam Abu Hatim mencapnya sebagai seorang kaddzab (rawi yang pembohong). Demikian pula dengan Imam Abu Daud mencapnya sebagai seorang pemalsu hadis. Nama ini setidaknya terdapat dalam sanad riwayat Abu Bakar ibn Abi ‘Ashim dan Imam al-Thabarani.
Selain itu, dalam sanad hadis tersebut terdapat juga nama Abdullah ibn Lahi’ah, seorang perawi yang menurut Imam al-Dzahabi adalah seorang periwayat yang dhaif (lemah). Ibnu Hajar menggarisbawahi bahwa pada mulanya ia dicap sebagai seorang yang shaduq (jujur tapi tidak memiliki hafalan yang kuat) yang meriwayatkan hadis melalui kitabnya (dhabith al-kitab), namun setelah kitabnya terbakar maka periwayatannya tidak lagi diambil oleh para ahli hadis. Sehingga untuk kehati-hatian, karena tidak ada bukti kongkrit apakah hadis di atas ia riwayatkan setelah kitabnya terbakar atau sebelumnya, maka riwayatnyapun tidak dapat diterima. Nama ini setidaknya terdapat dalam riwayat Nu’aim ibn Hammad dan al-Syasyi.
Kemudian perawi lain yang ikut menjadikan hadis di atas tidak dapat diterima adalah nama Maslamah ibn ‘Ulay Ibn Khalaf al-Khusyani. Ia dicap sebagai perawi yang mungkar oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah dan Abu Hatim. Imam al-Nasa’i, al-Daruquthni, dan al-Burqani menghukuminya sebagai perawi yang matruk. Bahkan Imam Ya’qub ibn Sufyan dan Abu Ali al-Hafidz al-Naisaburi mengatakan tidak selayaknya ahli hadis melirik kepada riwayatnya karena kualitasnya yang sangat dhaif. Nama yang terakhir ini terdapat dalam sanad riwayat Imam Hakim. Sehingga dari lima jalur periwayatan yang penulis teliti, tidak satupun di antara sanadnya yang bisa dipertanggungjawabkan serta bisa dijadikan dalil dalam persoalan ini.
Begitu pula, karena tingkat kedhaifannya yang sangat parah, sekalipun jalur periwayatan hadis tersebut banyak, tetap saja ia tidak akan bisa saling menguatkan antar satu sama lain sehingga bisa naik menjadi hadis Hasan Lighairihi sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang oknum dai yang mempopulerkan hadis ini. Perlu kita tekankan di sini bahwa Hadis Dhaif yang bisa naik kepada derajat Hasan Lighairihi itu hanyalah Hadis Dhaif yang tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah seperti hafalan perawinya yang tidak terlalu kuat, sanad hadisnya yang terputus ataupun kondisi salah seorang perawinya yang majhul (identitasnya tidak diketahui). Sementara di semua sanad hadis di atas terdapat perawi yang kedhaifannya tergolong sangat parah karena kefasikan dan dicurigai sebagai seorang pendusta bahkan pemalsu hadis.
Lantas kalau demikian halnya, bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil terhadap prediksi-prediksi yang sudah terlanjur menyebar itu? Penulis pribadi menganjurkan agar kita tidak terlalu percaya dengan hal-hal itu, sembari tetap meyakini bahwa peristiwa-peristiwa besar yang melatari terjadinya hari kiamat besar itu memang ada dan pasti akan terjadi. Sangat banyak hadis-hadis shahih yang menjelaskan tanda-tanda besar hari kiamat, seperti misalnya adanya api yang akan mengumpulkan umat manusia dari timur ke barat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, turunnya Dajjal, Ya’juj dan Ma’jud, terbitnya matahari dari sebelah barat, dan lain sebagainya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Namun ketika ada yang bertanya, bagaimana rincian dari tanda-tanda besar itu dan kapan terjadinya? Maka dalam hal ini kaedah yang harus kita pegang teguh sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis Nabi yang shahih adalah tidak satupun dari manusia, bahkan Nabi Muhammad Saw sekalipun, yang diberitahu terkait kapan kepastian terjadinya. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-An’am : 59 yang artinya, “Di sisi Allah-lah kunci-kunci (pengetahuan) tentang hal-hal yang ghaib, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali hanya Dia saja.”. Begitu juga dengan firman Allah Swt yang lain dalam Q.S. al-A’raf : 187, Q.S. al-Hijr : 85, Q.S. al-Nahl : 77, dan Q.S. al-Kahf : 21, semuanya menegaskan kepastian akan datangnya hari kiamat, sambil menggarisbawahi bahwa hanya Allah-lah yang mengetahui kapan waktu terjadinya.
Keterangan yang sama juga kita temukan dalam Hadis Shahih riwayat al-Bukhari yang bersumber dari Sayyidah Aisyah r.a di mana ia berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu mengetahui perkara yang ghaib, maka sungguh ia telah berdusta. Ia (Muhammad) mengatakan bahwa tidak seorangpun yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali hanya Allah Swt saja.” Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk terlalu mencemaskan sesuatu yang kepastiannya hanya diketahui oleh Allah SWT saja. Mari kita fokuskan diri untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, khususnya di bulan Ramadhan mendatang sambil berdoa agar wabah Covid-19 ini segera diangkat-Nya.
Sumber : islami.co