Salah satu pengalaman yang Nabi Muhammad saw alami saat melakukan Isra’ Mi’raj adalah perjumpaannya dengan nabi-nabi terdahulu. Di antara yang beliau jumpai adalah Nabi Musa bin Imran saat di langit nomor enam. Ada yang aneh saat bertemu dengan Nabi Bani Israil itu, Musa bukan malah bahagia bisa berjumpa nabi terakhir di momen mi’raj itu, ia justru bersedih. Ada apa?
Setelah melakukan isra’ berupa perjalanan malam dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis dengan mengendarai transportasi surga, Buroq, Nabi pun melanjutkan mi’raj ditemani malaikat Jibril, perjalanan malam dari dari Baitul Maqdis menuju langit dunia hingga berjumpa dengan Allah ‘azza wajalla.
Sebanyak tujuh lapis langit yang Nabi lalui. Setiap langit terdapat nabi-nabi terdahulu. Langit pertama bertemu Nabi Adam, langit kedua bertemu Nabi Yahya bin Zakaria dan Nabi Isa bin Maryam, langit ketiga bertemu Nabi Yusuf, langit keempat bertemu Nabi Idris, langit kelima bertemu Nabi Harun bin Imran, langit keenam bertemu Nabi Musa bin Imran, dan langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim.
Setiap Nabi yang dijumpai, Nabi Muhammad mengucapkan salam, lalu mereka menjawab dan mengakui kenabian Muhammad Saw. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hlm. 129-130)
Tapi ada yang aneh. Nabi Muhammad sempat terhenti saat berjumpa dengan Nabi Musa. Ketika hendak melanjutkan perjalanan ke langit ketujuh, Nabi Musa tiba-tiba menangis. “Apa yang membuatmu menangis?” tanya Nabi Muhammad penasaran.
“Aku menangis, karena ada orang yang lebih muda diutus setelahku, tapi umatnya lebih banyak yang masuk surga daripada umatku,” jawab Musa menyesal.
Musa menangis karena merasa sedih, jumlah umatnya lebih sedikit dari umat Nabi Muhammad dan kemuliaan umatnya juga dikalahkan oleh umat Nabi Muhammad yang lebih muda darinya. Padahal, masa umat Nabi Musa jauh lebih lama dibanding masa umat Nabi Muhammad.
Syekh Badruddin Ahmad al-Aini menjelaskan,
وكان بكاؤه حزنا على قومه وقصور عددهم وعلى فوات الفضل العظيم منهم
“Musa menangis karena merasa sedih atas umatnya. Jumlahnya lebih sedikit dibanding umat Muhammad dan keutamaannya kalah dengan umat Muhammad.” (Syekh Badruddin Ahmad al-Aini, dalam Umdtaul Qari [17/63])
Sikap Nabi Musa demikian bukanlah karena rasa iri (hasud) dengan Nabi Muhammad. Melainkan karena merasa menyesal. Mengapa dulu umatnya banyak melanggar perintah Allah, sehingga mempengaruhi derajat kedudukannya di sisi Tuhannya.
Ketaatan suatu umat merupakan prestasi seorang Nabi. Semakin tinggi tingkat ketaatannya, semakin tinggi pula derajat Nabi yang membimbingnya di sisi Allah. Sebaliknya, semakin umatnya sering melanggar perintah Allah, derajat Nabinya pun tidak setinggi Nabi yang berprestasi menuntun umat ke jalan ketaatan lebih gemilang.
Musa merasa sangat menyesal. Ia telah dikaruniai usia yang panjang melebihi usia Muhammad. Begitu pun umatnya lebih panjang usianya dibanding usia umat Muhammad. Tapi Musa gagal membina umatnya. Umatnya kalah banyak dibanding umat Muhammad. Sudah kalah banyak, kalah taat pula. Sesal Musa.
Syekh Badruddin Ahmad al-Aini melanjutkan,
ويقال: لم يكن بكاء موسى حسدا، معاذ الله فان الحسد ذلك العالم منزوع عن أحاد المؤمنينه، فكيف من اصطفاه الله بل کان آسفا على ما فاته من الأجر الذي يترتب عليه رفع الدرجة بسبب ما وقع من أمته من كثرة المخالفة المقتضية لتنقيص أجورهم المستلزمة لتنقيص أجره، لأن لكل نبي مثل أجر كل من اتبعه، ولهذا كان من اتبعه في العدد دون من اتبع نبينا، مع طول مدتهم بالنسبة لمدة هذه الأمة
“Dikatakan bahwa, Musa menangis bukan karena hasud. Na’uzdu billah! Di alam itu tidak ada lagi sifat hasud bagi tiap-tiap orang Mukmin, terlebih hamba pilihan Allah. Musa hanya merasa menyesal karena tidak bisa meraih pahala yang seharusnya bisa mengangkat derajatnya di sisi Allah Swt. Banyaknya kesalahan yang diperbuat umatnya, mengakibatkan Musa tidak bisa meraih pahala itu. Kedudukan setiap Nabi di sisi Allah dipengaruhi oleh pahala umat yang mengikutinya. Dalam kenyataannya, jumlah umat Nabi Musa kalah banyak dengan jumlah umat Nabi Muhammad, padahal masa umat Nabi Musa jauh lebih panjang dibanding masa umat Nabi Muhammad Saw.” (Syekh Badruddin Ahmad al-Aini, dalam Umdtaul Qari [17/63])
Salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada nabi-nabinya adalah besarnya rasa kasih sayang yang dimiliki setiap nabi-Nya. Jadi, di samping Musa merasa kurang berhasil dengan pencapaiannya, juga karena rasa sayang pada umatnya. Mengapa tidak bisa membimbing mereka lebih maksimal.
Syekh Musa Lasyin, dengan mengutip ucapan Ibnu Abi Jamrah mengatakan,
إن الله جعل الرحمة في قلوب الأنبياء أكثر مما جعل في قلوب غيرهم فلذلك بکی رحمة لأمته.
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rasa welas asih (rahmah) pada hati nabi-nabi-Nya, melebihi yang Ia berikan kepada hamba selain mereka. Oleh karena itu, Musa menangis karena rasa sayang terhadap umatnya.” (Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim, juz 1, hlm. 563)
Muhammad Abror, mahasantri di Ma’had Aly Asshidiqiyah Jakarta
Artikel asli : nu.or.id