Manusia pada umumnya berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaannya untuk menjadi kaya. Berbagai kepentingan dunia dipikirkan, tanpa disadari lupa apakah sudah mengumpulkan bekal di akhirat?
Dari Abdurrahman bin Auf mungkin kita bisa belajar, bahwa harta bukanlah segalanya. Beliau adalah salah satu sahabat nabi yang kaya raya namun gemar sedekah.
Abdurrahman bin Auf lahir dari ibu bernama Shafiyah, sedangkan ayahnya bernama `Auf bin `Abdu `Auf bin `Abdul Harits bin Zahrah. Dengan kekayaannya yang dimiliki, dia justru menangis karena khawatir akan memasuki surga paling terakhir.
“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya, sehingga dihisabnya paling lama. Mendengar hal tersebut Abdurrahman bin Auf pun berpikir keras, bagaimana caranya agar ia kembali menjadi miskin supaya dapat memasuki surga lebih awal,” tuturnya.
Agar jatuh miskin, Abdurrahman bin Auf pernah menyedekahkan separuh hartanya pada zaman Nabi. Setelah itu ia bersedekah lagi sebanyak 40.000 dinar yang kebanyakan harta bendanya diperoleh dari hasil perdagangan.
Suatu hari ada salah satu kaum Anshar bernama Sa’ad yang terkenal dengan kekayaannya di Madinah menawarkan harta pada Abdurrahman bin Auf. Akan tetapi, saat itu penawaran ditolak dan dia malah bertanya lokasi pasar yang ada di Madinah saat itu.
Setelah dicari tahu, ternyata harga sewa pasar di Madinah sangat mahal, banyak orang-orang yang ingin berdagang namun tidak ada modal besar untuk menyewa tempat. Dengan peluang dan inisiatifnya, Abdurrahman bin Auf membeli tanah itu dan menjadikannya sebagai kavling-kavling pasar.
Kavling-kavling tersebut dia bangun dan digunakan oleh pedagang muslim tanpa membayar sewa. Abdurrahman bin Auf menerapkan sistem bagi hasil yang lebih adil, sehingga tidak memberatkan dan mencekik para pedagang yang masih merintis.
Berdasarkan situs resmi Dompet Dhuafa, Abdurrahman bin Auf pernah memberikan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara dengan kurang lebih 31 gram) untuk memenuhi kebutuhan logistik selama perang Tabuk. Saat ada seruan untuk berinfak dari Rasulullah SAW, ia tak pernah berpikir panjang dan ragu-ragu.
Begitupun saat perang Badar yang jumlahnya mencapai 100 orang, dia memberikan santunan 400 dinar kepada masing-masing veteran. Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 unta untuk para pejuang.
Tidak hanya itu, dia juga pernah bersedekah dengan membeli kurma yang hampir busuk dari para sahabat di Madinah. Semua pedagang pun sontak gembira karena kurma mereka bisa dijual, begitupun Abdurrahman bin Auf yang senang dan berharap akan jatuh miskin.
Namun, tiba-tiba ada seseorang yang datang dan mengaku berasal dari utusan Yaman. Dia memberitakan bahwa di negerinya sedang terkena wabah penyakit menular, sehingga rajanya mengutus dirinya untuk mencari kurma busuk.
Berkat kedermawanannya itu, tidak membuat Abdurrahman bin ‘Auf langsung jatuh miskin, justru kehidupannya terus meningkat. Keberhasilannya dalam bisnis membuatnya dijuluki sebagai tangan emas, karena apapun yang dikerjakan selalu sukses dan membuahkan hasil yang besar.Menurutnya, kurma busuk adalah salah satu obat yang bisa menyembuhkan dari penyakit menular itu. Akhirnya utusan raja Yaman tersebut memborong semua kurma milik Abdurrahman bin Auf dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.
Di saat Abdurrahman bin Auf merelakan semua hartanya agar jatuh miskin, saat itu pula Allah memberikan limpahan harta berkali-kali lipat untuknya. Hingga pada waktunya, dia meninggal di usia 72 tahun dan masuk dalam deretan 10 sahabat nabi yang dijamin masuk surga.
Baginya, warisan terbaik yang ditinggalkan pada keluarganya saat meninggal bukanlah harta atau kekayaan, melainkan ajaran Islam dan teladan dari Rasulullah SAW. Semoga kita bisa meneladani sifat dari seorang Abdurrahman bin Auf ya detikers.
Artikel asli : detik.com