SUNAN BONANG tak hanya terkenal sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa, melainkan juga pembela masyarakat. Kendati masyarakat tersebut tidak seiman dengannya, Sunan Bonang terkenal vokal membela masyarakat kecil.
Suatu ketika dikisahkan ada padepokan bernama Sentono yang dipimpin oleh Blacak Ngilo. Blacak Ngilo adalah bekas prajurit Majapahit, yang melarikan diri akibat perang saudara.
Sebagaimana dikisahkan dalam buku “Sunan Bonang Wali Keramat : Karomah, Kesaktian, dan Ajaran – Ajaran Hidup Sang Waliullah”, tulisan Asti Musman, padepokan Blacak Ngilo ini begitu termasyhur dan mempunyai banyak murid.
Blacak Ngilo mengajarkan berbagai ilmu, mulai dari cara bercocok tanam, budi pekerti, spiritual, dan olah kanuragan. Padepokan Sentono ini terletak di tepi aliran Bengawan Solo, yang memang strategis untuk pertanian.
Alhasil bukan hal yang aneh jika Sentono dan sekitarnya mengalami perkembangan yang luar biasa hebat. Bahkan Blacak Ngilo oleh para pengikutnya diperlakukan seperti raja. Sayang lambat laun Blacak Ngilo justru berubah menjadi orang yang sewenang-wenang, terhadap para pengikutnya.
Masyarakat diharuskan untuk menyetorkan separuh lebih hasil panennya kepada Blacak Ngilo. Tak hanya itu, setiap rakyatnya yang mempunyai anak perawan perempuan agar dipersembahkan untuk dijadikan selirnya. Rakyat pun mulai resah, apalagi setiap malam bulan purnama harus disediakan darah segar manusia, untuk dijadikan tumbal guna menambah kesaktiannya.
Kabar ini pun terdengar ke telinga Sunan Bonang, ia pun mengutus seorang santrinya menemui Blacak Ngilo, yang intinya mengingatkannya agar tidak lagi sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Tak hanya itu, Sunan Bonang juga mengajak Blacak Ngilo untuk tidak menyembah berhala dan mengikuti ajaran Islam yang lurus dan benar.
Mendengar perkataan utusan Sunan Bonang tersebut, Blacak Ngilo langsung menebas leher santri Sunan Bonang, hingga tewas seketika. Konon tempat pemenggalan leher utusan Sunan Bonang ini sampai sekarang diabadikan menjadi sebuah desa bernama Pangulu, berasal dari kata penggal gulu, atau penggal leher dalam bahasa Indonesia. Wilayah tersebut masuk Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro.
Merasa diremehkan, Blacak Ngilo kemudian mengirim surat tantangan kepada Sunan Bonang agar datang berhadapan dengannya untuk adu kesaktian. Sunan Bonang menyanggupi tapi ia meminta beberapa persyaratan.