Nabi Adam ‘Alaihis salam dan istrinya dikeluarkan oleh Allah Ta’ala dari surga lantaran mengikuti hawa nafsu.
Keduanya ikuti bisikan setan, padahal jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh-Nya. Namun, keduanya mendapatkan ampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla sebab akui dosa, sungguh-sungguh bertaubat dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya.
Sedangkan Iblis laknatullah diharamkan masuk ke dalam surga dan terjamin atasnya neraka jahannam, sebab sombong.
Bermula dari keengganannya menghormati Nabi Adam ‘Alaihis salam dengan bersujud, merasa diri lebih baik, hingga dinobatkan sebagai sosok yang kelak mencari sebanyak-banyaknya pengikut untuk dijerumuskan ke dalam neraka.
Iblis adalah tanda kesombongan. Ia merasa paling hebat, dan tidak mau mengakui kebaikan orang lain. Karenanya, ia terlaknat dan dinobatkan sebagai musuh paling nyata umat manusia. Sebab sombongnya itu, ia diharamkan masuk ke dalam neraka.
Mari merenung dalam jenak. Apakah ada sifat Iblis ini yang masuk ke dalam hati kita? Apakah hanya karena istri kita paling cantik di antara istri-istri orang dalam suatu kampung, paling putih wajahnya di antara istri-istri sahabat satu angkatan di kampus, paling kaya di antara istri-istri jamaah masjid setempat, apakah hanya karena itu kita merasa lebih baik dari mereka?
Apakah karena kita lebih dulu menikah, kemudian mendapatkan istri yang baik hatinya, lalu terbuka peluang untuk menambah istri.
Kemudian kita merasa lebih hebat di banding sahabat-sahabat satu angkatan atau satu kampung yang tengah diuji dengan belum diturunkannya jodoh bagi mereka?
Apakah karena kita lebih tampan, punya banyak aset, rumah, mobil, sekian banyak usaha dagang dengan omset puluhan hingga ratusan juta perbulan, kemudian kita merasa lebih baik?
Merasa lebih disayang Allah sebab diberi karunia melimpah sementara tetangga kita dianggap rendah hanya karena tak miliki penghasilan tetap perbulannya?
Apakah hanya karena kita paling rajin bolak-balik ke masjid menghadiri shalat berjamaah, senantiasa berada di shaf terdepan, bersegera mendatangi masjid seketika setelah adzan, senantiasa menyempurnakan wudhu, dan tidak ketinggalan takbir pertama imam kemudian berhak memicingkan mata terhadap saudara muslim yang sering terlambat shalat berjamaah?
Apakah hanya karena itu, kita merasa layak dimuliakan oleh orang lain, kemudian memiliki hak prerogatif untuk membenci dan berlaku sinis kepada mereka yang belum mendapatkan hidayah?
Jika demikian, apa bedanya kita dengan sikap Iblis? Bukankah Iblis yang telah beribadah ribuan tahun langsung divonis neraka sebab sekali menolak perintah Allah Ta’ala dengan kesombongannya?
Apakah diri yang baru beribadah tahunan atau hanya puluhan tahun itu, akan selamat dari nereka jika intensitas kesombongan lebih banyak dari kesombongan yang dilakukan Iblis?
Wahai diri, ingatlah baik-baik pesan Nabi yang mulia. Hafalkan, cermati, dan jadikan ia sebagai pegangan hidup. Bahwa Nabi telah sampaikan nasihat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim,
“Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya ada seberat zarrah dari kesombongan.”
Sebab, hanya Allah Ta’ala yang layak bersikap demikian. Dialah Yang Mahabesar dan Mahakuasa.
Sumber: islampos.com