DUNIA Internasional telah dihebohkan oleh sebuah wabah yang sangat mengerikan pada penghujung tahun 2019 yang lalu. Wabah tersebut dikenal dengan corona (Covid-19) yang telah memakan korban ribuan nyawa manusia di seluruh dunia. Melihat dari fakta, corona ini termasuk dari wabah yang sangat mengerikan, karena penyebarannya yang sangat cepat.
Jauh sebelum kasus ini muncul, telah terdapat juga sebuah wabah yang dikenal dengan istilah tho’un . Lalu apakah Corona bisa disamakan dengan tho’un . Melihat definisi para Ulama, wabah Corona ini tidak bisa dikategorikan tho’un, karena tho’un lebih khusus dan spesifik dibandingkan dengan wabah, namun walaupun berbeda dari sisi penamaan, penyakit ini sama-sama berbahaya dan menular yang tidak bisa disepelekan.
Jika dirunut dari sejarah terjadinya, penyakit-penyakit wabah semacam corona ini atau pun tho’un , sudah ditemukan sejak masa Nabi Muhammad ﷺ, bahkan jauh sebelum Nabi diutus, yaitu pada zaman Bani Isra’il.
Di dalam kitab al-Isya’ah li Asyrot al-Sa’ah yang ditulis oleh al-‘Allamah al-Muhaqqiq Muhammad bin Rasul al-Husaini (1040 H- 1103 H) disebutkan bahwa tho’un yang paling berbahaya dalam Islam ada lima, yaitu. Pertama, Tho’un Syirawaih, kejadian ini pada masa Nabi Muhammad ﷺ. kedua, Tho’un ‘Amwas pada masa Umar bin Khattab. Ketiga, Tho’un al-Jarif, terjadi pada Ibnu Zubair. Keempat, Tho’un Fatayat, terjadi pada tahun 87H. Kelima,Tho’un al-Asyraf.
Lebih rinci lagi dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Tho’un ‘Amwas terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pada tahun 17 H, dan ada yang mengatakan bahwa tho’un pada tahun 18 H telah merenggut lebih kurang 25 ribu nyawa tentara kaum Muslim.
Dinamakan dengan Tho’un ‘Amwas, karena sebelum menyebar ke daerah-daerah lain, wabah tersebut hanya terjadi di daerah ‘Amwas saja.
Adapun para Sahabat Nabi yang meninggal, disebabkan Tho’un ‘Amwas ini di antaranya : Abu ‘Ubaidab bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah, al-Fadhl bin ‘Abbas, Abu Malik al-Asy’ary, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Abu Jandal, Suhail bin ‘Amar.
Kemudian setelah Tho’un ‘Amwas ini berakhir, tho’un berikutnya terjadi di al-Kufah pada tahun 49 H, dan 4 tahun berikutnya muncul lagi wabah Tho’un pada tahun 53 H.
Setelah kejadian wabah Tho’un di al-Kufah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, terjadi lagi wabah yang sangat mengerikan di Bashra sekitar tahun 69H, penyakit yang membahayakan ini dinamakan dengan Tho’un al-Jarif.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa tho’un ini dinamakan dengan Jarif, karena ia menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah. Ibnu Katsir menerangkan hari pertama masyarakat di Bashra yang meninggal sebanyak 70 ribu, hari keduanya meninggal 70 ribu, hari ketiga 73 ribu, sedangkan pada hari keempatnya seakan-akan semua manusia itu meninggal, kecuali sedikit saja yang masih hidup.
Al-Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahani saksi sejarah pada saat itu menerangkan, pada awalnya kami mendatangi setiap kabilah-kabilah, jika ada yang meninggal kami tetap menguburkannya, namun ketika sudah banyak sekali yang meninggal, kami pun tak sanggup untuk menguburkan. Sehingga setiap kami memasuki rumah, kami menemukan penghuninya sudah tergeletak di depan pintu.
Kemudian tidak lama setelah itu, pada tahun 87 H, terjadi lagi peristiwa wabah tho’un yang mana pada saat itu mayoritas para gadis-gadis yang menjadi korbannya, sehingga dinamakan penyakit tersebut dengan Tho’un al-Fatayat, yang bermakna para pemudi.
Ibnu Abi al-Dunya menerangkan di dalam kitabnya al-I’tibar, bahwa ada seorang laki-laki arab bersama 10 orang anak gadisnya datang ke Bashra, hanya berselang beberapa hari saja 10 orang anak gadisnya itu langsung meninggal dunia. Begitulah gambarannya wabah tho’un pada saat itu.
Kemudian setelah wabah yang menyerang mayoritas para gadis berakhir, terjadi lagi Tho’un al-Asyraf, dinamakan dengan Tho’un al-Asyraf, karena pada peristiwa ini di antara korban yang meninggal, mayoritasnya adalah manusia-manusia yang terhormat.
Kemudian terus berlanjut pada tahun 100 H dinamai dengan Tho’un ‘Ady bin Arthah, berlanjut pada tahun 107 H terjadi Tho’un di Syam, kemudian pada tahun 115 H juga terjadi di Syam, kemudian pada tahun 127 H terjadi Tho’un Ghurab. Artinya pada masa tersebut umat Islam memang diuji betul keimanan dan kesabaranya dalam menghadapi berbagai tho’un yang terjadi dari tahun ke tahun berikutnya.
Kemudian pada bulan Rajab tahun 131 H terjadi Tho’un Muslim bin Quthaibah, terus berlanjut ke Sya’ban dan Ramadhan, kemudian wabah ini berkurang pada bulan Syawwal. Wabah ini memakan korban sebanyak hampir 1000 orang perhari.
Semua wabah tho’un tersebut, kebanyakannya terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Kemudian wabah penyakit tho’un pada masa itu bukan hanya sekedar di daerah Syam saja. Sehingga para pemimpin bani Umayyah ketika terjadi wabah tho’un mereka pergi mengungsi ke padang pasir.
Kemudian pada masa Bani ‘Abbasiyah wabah tho’un sudah sangat berkurang, uniknya sebagian pemimpin-pemimpin mereka berpidato di Syam : “Bersyukurlah kepada Allah yang telah menghilangkan wabah penyakit tho’un dari kalian semenjak kami yang menjadi pemimpin”.
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari segala macam penyakit yang membahayakan. Berikut amalan yang sering diamalkan oleh para ‘Alawiyyin, dan diwasiatkan oleh Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur untuk mengamalkannya pada saat-saat wabah yang tersebar sekarang ini.
يَالَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا نَزَلْ اِنَّكَ لَطِيْفٌ لَمْ تَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا وَ الْمُسْلِمِيْنَ
Wahai Yang Maha berlemah lembut, engkau selalu berlemah lembut,
Berlemah lembutlah terhadap kami dalam segala kejadian,
Sesungguhnya engkau Maha berlemah lembut dan takkan berubah,
Berlemah lembutlah terhadap kami dan kaum muslimin. (3 kali)
يَالَطِيْفَ, يَالَطِيْفَ, يَا لَطِيْفَ
(100x pagi dan sore) *
Alumni Jam’iyah al-Arbithah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Yaman dan Tim Asatidz Tafaqquh Study Club
Sumber : hidayatullah.com