Buku itu berisi tulisan-tulisan Ali lintas disiplin: sifat-sifat Tuhan, fikih, tafsir, hadis, kepemimpinan, etika, filsafat, sosial, sejarah, politik, administrasi, hak dan kewajiban warga, sains, retorika, puisi, hingga sastra. Nahjul Balaghah dituturkan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah—itulah mengapa disebut “puncak kefasihan”.
Jalaluddin Rakhmat, pemikir Islam sekaligus Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), organisasi Syiah di Indonesia, menilai bahwa buku itu menjadi “puncak kefasihan sastra Arab” karena hampir seluruh sastrawan Arab, termasuk sastrawan non-muslim dari Lebanon dan Yordania, merujuk dan mengagumi karya Ali itu.
“Dia menjadi semacam ukuran tingginya kelas sastra di Arab. Di Lebanon dan Yordania, lahir ahli-ahli sastra Arab non-muslim, tapi mereka sangat mengagumi Imam Ali, lewat buku itu,” kata Jalal kepada Tirto, Kamis (29/1/2021).
Salah satu sastrawan asal Lebanon yang dimaksud Jalal adalah George Jordac, yang pernah menulis buku mengenai Ali berjudul The Voice of Human Justice (1956). Di dalam buku itu, Ali tak hanya dianggap sebagai “suara keadilan umat Islam”, tapi juga “suara keadilan manusia”. Bahkan, kata Jalal, sejarawan Islam Inggris Martial Staub pernah berkata: “Kalau aku tidak menemukan Ali bin Abu Thalib, tidak ada yang menarik dari sejarah Islam.”
“Orang Indonesia yang tidak memahami bahasa Arab akan sulit memahami keindahan buku Ali bin Abu Thalib,” tambah Jalal.
Dalam buku itu, Ali juga banyak menulis kejadian penting yang terjadi selama dirinya hidup di zaman itu. Artinya, Ali bertindak sebagai tokoh sejarah sekaligus pencatat sejarah.
Sementara itu, bagi kalangan Suni, Ali bin Abu Thalib juga menjadi sosok yang sangat dihormati. Orang-orang Suni lazim memanggilnya ‘Sayidina Ali’ (Tuanku Ali) dengan gelar penuh pujian yaitu karamallahu wajhah (semoga Allah memuliakannya). Gelar ini dinisbatkan kepada Ali karena sepanjang hidupnya ia tidak pernah menjadi penyembah berhala dan tak pernah melihat auratnya sendiri atau aurat orang lain. “Ia [Ali] begitu menjaga pandangannya sehingga terbebas dari melihat aurat seseorang,” catat laman NU Online.
Ulil Abshar Abdalla, intelektual Nahdlatul Ulama, merasakan bahwa Nahjul Balaghah dan kumpulan doa-doa Ali bertajuk Al-Shahifah al-Sajjadiyyah memberi kesan tersendiri baginya. Membaca buku-buku tersebut, bagi Ulil, membawanya menuju pengalaman spiritual dan intelektual sekaligus.
“Teks kuno yang bertahan berabad-abad seperti Nahjul Balaghah dan al-Shahifah al-Sajjadiyyah itu lahir dari ‘the self’s wholeness‘. Seluruh hidup pengarang dipertaruhkan padanya,” catat Ulil dalam sebuah esai di laman Qureta.
Ulil, seorang yang dibesarkan dan dididik dalam tradisi pesantren NU yang Suni, juga mengakui betapa besar kandungan ilmu dalam narasi-narasi Ali bin Abu Thalib. Teks macam itu tidak dilahirkan dari seseorang yang biasa saja.
“Membaca teks dari Imam Ali Zainal Abidin ini, kita seperti berhadapan dengan sesuatu yang karismatis. Karisma itu bisa kita rasakan dari setiap kalimat yang ada di dalamnya. Salah satu bagian yang paling menggetarkan saya dalam meditasi dan doa Imam Ali Zainal Abidin ini ialah meditasi ke-47 yang disebut dengan Doa Arafah. Saya ingin menyebut doa ini sebagai salah satu doa dan meditasi terindah dalam sejarah kerohanian Islam,” lanjutnya.

Belajar dari Ali
Ahmet T. Kuru, sejarawan dan ilmuwan politik Islam dari University of Wahington, mengatakan bahwa selama tiga puluh tahun terakhir kekerasan berlangsung cukup tinggi di berbagai sudut di dunia. Ia menilai bahwa masyarakat Muslim turut serta berpartisipasi dalam kekerasan-kekerasan itu.
Walau dirinya membenarkan bahwa fenomena kekerasan tersebut sangat kompleks dan tidak terbatas lewat gagasan keagamaan maupun sekuler, baginya masyarakat muslim sebagian besar kurang berhasil melawan propaganda kaum jihadis yang pro terhadap kekerasan.
“Ketidakmampuan itu berkaitan dengan ambisi ulama untuk memonopoli tafsir Islam dan kemandekan intelektual yang dihasilkan di kalangan Muslim. Ulama sendiri tidak dapat menghasilkan argumen tandingan yang efektif, karena mereka adalah melindungi tradisi, bukan menghasilkan gagasan baru,” tulis Ahmet dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021: 53-54).
Pada kondisi macam itulah Ali bin Abu Thalib menemukan relevansinya di masa kini. Darinya, umat Islam bisa belajar mengenai pentingnya menjadi muslim yang mengedepankan rasionalitas, gagasan, dan intelektualisme, ketimbang mengandalkan bedil, pedang, dan bom.
Pada 29 Januari 661, tepat hari ini 1.360 tahun lalu, Ali bin Abu Thalib meninggal. Lebih dari satu milenium sudah terlewati, namun gagasan dan pemikiran sahabat terdekat Nabi itu akan terus abadi dan menerangi jalan peradaban Islam.
“Tidur dapat meruntuhkan ketetap-hati yang teramat penting,” kata Ali, dalam salah satu bab buku Khaled Abou El Fadl. Karena kalimat Ali itu, Khaled menjadi pribadi yang tak pernah tidur. Ia selalu melewatikan malam-malamnya untuk bergulat dan berargumen dengan buku-buku yang ada di apartemennya—salah satunya buku karya Ali.
“Al-Qur’an hanyalah sebuah kitab yang bersampul—manusialah yang membaca, memahami, dan menerapkannya,” kata Ali.
Artikel asli : tirto.id