Sudahkah kita mengenal Nabi Muhammad SAW? Tentu kita akan menjawab iya dan mengenal beliau. Sudahkah kita membaca shalawat kepada beliau? Tentu saja kita akan menjawab iya dan sudah membacanya.
Kapan? Setiap melaksanakan ibadah shalat. Sudahkah Rasulullah SAW mengakui kita sebagai umatnya? Pertanyaan ini yang kadang membuat kita bingung dan minder untuk menjawabnya. Apakah kita pantas diakui sebagai umatnya? Wallahu a’lam.
Kita yakin diakui sebagai umatnya karena kita adalah umat yang dirindukan. Ummati ummati ummati (umatku 3x). Bukan sekali dua kali, tetapi berkali-kali, Rasulullah SAW berpikir keras tentang kita umatnya. Kita adalah umat yang dirindukan beliau.
Begitu disebutkan dalam sabdanya, qaumun lam yarauni wa amana wa ana lahum bil asywaq (mereka orang-orang yang tidak melihatku dan beriman kepadaku. Aku sangat merindukan mereka). Kita boleh percaya diri dan bahagia dengan hal tersebut. Tetapi apakah kita pantas atau tidak, itu bergantung bagaimana sikap dan prilaku kita.
Untuk itu, ada pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita masing-masing. Sudahkah ajaran-ajarannya kita jalankan? Sudahkah sunnnah-sunnahnya kita ikuti dan kita lakukan? Dan, seberapa sering shalawat kepada beliau kita bacakan?
Ajaran dan sunnahnya adalah syari’at dalam agama Islam. Ada yang hukumnya wajib dilakukan ada juga yang pilihan. Dilakukan berpahala tidak dilakukan tidak apa-apa. Itulah sunnah secara hukum Islam. Perintah wajib dilakukan. Anjuran tidak harus dilakukan tetapi sangat baik dilaksanakan. Lantas di manakah posisi shalawat di antara ajaran dan sunnahnya itu? Di manakah letak shalawat di antara perintah atau anjuran itu? Seperti apakah status hukumnya, wajib atau sunnah?