UJUB adalah penyakit hati yang berbahaya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam (SAW) menceritakan kisah tentang seorang nabi yang ujub karena jumlah pengikut dan tentaranya sangat banyak. Akibatnya Allah menghukumnya. Nabi ini disuruh memilih salah satu dari tiga perkara: dikuasai musuh, kelaparan, atau kematian.
Nabi ini memilih kematian. Maka, kemenangan mereka raih, tapi dalam waktu singkat, sehari, 70 ribu orang dari mereka mati. Jangan main-main dengan ujub.
Kisah dalam hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi (2/236-237). Diriwayatkan oleh Muslim (8/229-231) dan Ahmad dalam riwayatnya (1/16-17).
Rasulullah menceritakan seorang Nabiyullah dengan umat yang besar jumlahnya dan tangguh. Dia melihat pemberian Allah ini dengan takjub. Dalam dirinya muncul kekaguman bahwa tidak ada yang mampu menghadapi umatnya, tidak ada yang bisa mengalahkannya
Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor dalam Kisah-Kisah Shahih Dalam Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan semestinya orang yang menduduki kursi kenabian tidak boleh bersikap demikian, karena ujub dengan diri sendiri atau dengan anak atau harta atau umat adalah penyakit yang buruk.
Nabi ini dihukum pada kaumnya. Allah meminta kepadanya untuk memilih bagi umatnya satu dari tiga perkara: dikuasai musuh, kelaparan, atau kematian.
Rasulullah SAW mendapati bahwa satu dari tiga hal itu bisa melemahkan, bahkan melenyapkan kekuatan sebuah umat. Allah ingin menghilangkan ujub yang ada di hati nabi itu dan umatnya.
Jika kelaparan yang menimpa, kekuatan mereka lenyap dan mudah untuk dikalahkan. Jika mati, jumlah mereka berkurang. Memilih satu dari tiga pilihan tadi adalah perkara yang membingungkan dan perlu pertimbangan yang matang. Nabi ini telah berunding dengan umatnya dan mereka menyerahkan perkara itu kepada sang nabi.
Para nabi diberi petunjuk dan langkahnya adalah lurus. Pilihan nabi ini cukup tepat. Dia memilih kematian, bukan kelaparan atau kekuasaan musuh yang berkuasa.
Jika seseorang yang hanya menimbang dengan tolok ukur dunia, niscaya dia memilih lain dari apa yang dipilih oleh nabi itu. Mungkin, sebagian orang yang berpikiran dangkal berpendapat bahwa pilihan tepat adalah musuh yang diberi kekuasaan karena mereka akan tetap hidup walaupun musuh bisa saja membunuh sebagian dari mereka.
Namun, nabi ini tidak rela jika kaumnya dihina dan diinjak-injak. Dan pembunuhan tidak bisa terelakkan jika musuh menguasai mereka. Kelaparan adalah masalah yang berat. Bisa jadi, kelaparan menjadi penyebab kekalahan, bahkan mungkin banyak yang mati karenanya.
Sedangkan, kematian adalah sesuatu yang pasti datang. Siapa yang hari ini tidak mati, dia akan mati besok atau lusa. Tidak ada tempat berlari dan berlindung dari kematian. Nabi ini memilih kematian untuk umatnya.
Orang-orang yang kembali kepada Tuhan mereka diharapkan bisa diterima di sisi-Nya. Orang-orang yang hidup sesudah mereka diharapkan bisa mengambil ibrah dari kehidupan yang dijalani. Bisa jadi, setelah mati, Allah menggantinya dengan ganjaran penuh kenikmatan.
Sebelum menetapkan pilihan, Nabi ini salat terlebih dahulu. Begitulah para nabi dan orang-orang saleh manakala menghadapi perkara besar. Mereka berdiri menegakkan salat. Maka, dia salat sebagaimana yang diajarkan Allah. Lalu, Allah memberinya taufik untuk memilih perkara yang paling ringan. Dia berkata kepada Tuhannya, “Adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Kelaparan juga jangan, akan tetapi kematian.”
Selanjutnya, kematian menyebar di kalangan mereka seperti api yang merembet di hamparan rumput kering. Satu per satu umatnya mati. Kematian menjemput dan membinasakan generasi yang tumbuh. Dalam satu hari, ada 70 ribu orang meninggal.
Akibat ujub si nabi ini sangatlah mengerikan. Rasulullah khawatir, akibat seperti ini bisa menimpa para sahabatnya. Maka, beliau berdoa setelah salat, “Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan- Mu aku berperang.”
Rasulullah mengingat kisah nabi ini. Dalam menghadapi musuh, nabi berpegang kepada Allah semata. Hanya dari Allah pertolongan dan kemenangan. Tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dari-Nya.
Dan beliau mengingat kisah Nabi ini, maka beliau berdoa dengan doa seperti di atas kepada Allah, mengumumkan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan serta hanya bergantung kepada kekuatan dan daya para sahabatnya. Dalam menghadapi musuh Nabi berpegang kepada Allah semata, tanpa selain-Nya. Hanya dari-Nya pertolongan dan kemenangan, dan tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan-Nya.
Dua Perang
Al-Quran telah mengabadikan dua perang yang membuat pasukan muslim mengalami kekalahan. Dua perang itu adalah perang uhud dan perang Hunain. Allah abadikan untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang berpikir.
Adapun perang Uhud, kekalahan akibat sebagian pasukan pemanah menyelisihi perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar tidak turun dari bukit baik menang maupun kalah. Namun mereka malah turun sehingga Allah berikan kekalahan. Allah Ta’ala berfirman:
أولما أصابتكم مصيبة قد أصبتم مثليها قلتم أني هذا قل هو من عند أنفسكم
“Apakah ketika kalian ditimpa musibah (di perang uhud) sementara kalian telah mendapatkan kemenangan dua kali lipat (di perang badar), kalianpun berkata: “Bagaimana kami bisa kalah? Katakan, “(Musibah kekalahan itu) berasal dari diri kalian sendiri” (QS. Ali Imron: 165).
Allah tidak mengatakan: “Kekalahan itu akibat pasukan musuh yang jumlahnya jauh lebih besar dan lebih kuat”. Tapi akibat kesalahan kalian sendiri…
Al-Qur’an juga telah menyebutkan bagaimana kebanggaan kaum Muslimin terhadap diri mereka pada waktu Perang Hunain yang menyebabkan kekalahan, sehingga mereka menyadari keadaan itu dan kembali kepada Tuhan mereka.
لَـقَدۡ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ فِىۡ مَوَاطِنَ كَثِيۡرَةٍ ۙ وَّيَوۡمَ حُنَيۡنٍ ۙ اِذۡ اَعۡجَبَـتۡكُمۡ كَثۡرَتُكُمۡ فَلَمۡ تُغۡنِ عَنۡكُمۡ شَيۡـًٔـا وَّضَاقَتۡ عَلَيۡكُمُ الۡاَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ ثُمَّ وَلَّـيۡتُمۡ مُّدۡبِرِيۡنَۚ
Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. (QS at-Taubah: 25)
ثُمَّ اَنۡزَلَ اللّٰهُ سَكِيۡنَـتَهٗ عَلٰى رَسُوۡلِهٖ وَعَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ وَاَنۡزَلَ جُنُوۡدًا لَّمۡ تَرَوۡهَا ۚ وَعَذَّبَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا ؕ وَذٰ لِكَ جَزَآءُ الۡـكٰفِرِيۡنَ
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir. (QS at-Taubah: 26)
Ketika itu, sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.”
Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah berikan pelajaran bagi mereka. Padahal, mereka itu adalah para Sahabat Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi- sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin… (lihat Tafsir al-Karim ar-Rahman, hal. 345).
Ujub (takjub) dengan diri sendiri dan ghurur (terperdaya) dengan kenikmatan yang dimiliki adalah dua hal yang sangat berbahaya pada diri seseorang. Kelebihan dan nikmat yang dimiliki bisa jadi malah menjerumuskan dalam lembah kehinaan. Ujub menghalangi dari kesempurnaan akhlak dan bahkan bisa menjatuhkan seseorang yang sebenarnya memiliki keutamaan.
Sesungguhnya orang yang berbangga terhadap dirinya sendiri tidak akan dapat melihat aib yang ada pada dirinya walaupun aib itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat kelebihan dan kebaikan dirinya sebagaimana mikroskop yang dapat memperbesar hal-hal yang kecil dalam dirinya.
Sikap ujub pula yang memperdaya Iblis sehingga membangkang dari perintah Allah untuk sujud kepada Adam yang dia pandang lebih rendah dari dirinya. Iblis yang awalnya menghuni surga yang penuh kenikmatan tetapi akhirnya diusir dari surga dan bahkan diancam akan dimasukkan kedalam neraka di hari kiamat kelak.
Keutamaan yang kita miliki sejatinya hanya karunia yang Allah berikan pada kita sebagai bahan ujian untuk kita. Tidak perlu kita merasa sombong atau takjub dengan diri kita sendiri. Allah dan RasulNya telah memperingatkan agar manusia tidak terperdaya dengan kenikmatan yang dimiliki. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?” (QS. Infithar: 6)
Sayyina Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, “Keburukan yang engkau lakukan adalah lebih baik daripada kebaikan di sisi Allah yang membuatmu berbangga diri.”
Atha, mengutip makna ucapan Ali kemudian dia mengungkapkannya di dalam hikmahnya: “Barangkali Allah membukakan pintu ketaatan tetapi tidak membukakan bagimu pintu penerimaan amalan itu; barangkali Dia menakdirkan bagimu kemaksiatan, tetapi hal itu menjadi sebab sampainya kamu kepadaNya.
Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai adalah lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan dirimu berbangga dan menyombongkan diri.”
Hikmah Hadis
Kembali ke hadis tentang kisah Nabi yang ujub. Syaikh Umar Sulaiman menyebut pelajaran dan faedah hadis ini.
1. Rasulullah memberi pengertian kepada sahabat sahabatnya tentang sebab-sebab kelemahan dan kebinasaan. Di antaranya adalah ujub terhadap diri.
2. Akibat ujub sangatlah mengerikan, sebagaimana yang terjadi pada umat Nabi tersebut. Hal itu karena ujub melemahkan tawakkal dan berpijak kepada Allah, serta menjadikan seseorang hanya bergantung kepada sebab-sebab materi.
3. Hendaknya para pemimpin, para panglima dan para pengendali urusan harus waspada. Jangan sampai Allah menurunkan apa yang telah Allah timpakan kepada kaum Nabi ini. Pada zaman ini kita sering melihat dan mendengar banyaknya kekaguman para pemimpin dan panglima terhadap tentara dan pengikut mereka.
4. Bisa jadi sebab turunnya ujian adalah sesuatu yang samar, hanya diketahui oleh orang yang mengerti agama Allah. Musibah seperti ini bisa menimpa kaum saleh yang berjihad, sementara mereka tidak mengetahui darimana sebabnya.
5. Adanya umat yang baik dalam jumlah besar sebelum kita. Pada kalangan mereka terdapat orang-orang yang berperang dan berjihad di jalan Allah. Dalam rentang waktu yang pendek, jumlah orang yang mati mencapai tujuh puluh ribu orang.
6. Seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakan salat jika menghadapi suatu perkara besar. Semoga Allah membimbingnya kepada pilihan yang paling lurus. Termasuk hal ini adalah Istikharah yang disyariatkan oleh Allah setelah dua rakaat.
7. Dalam perkara yang mengharuskan memilih, seorang muslim hendaknya tidak tergesa-gesa. Dia harus bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi ini. Dia harus memikirkan dengan matang, menimbang antara pilihan-pilihan yang ada. Dia harus berdoa kepada Allah agar memberinya taufik sehingga bisa memilih dengan benar.