KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab dipanggill Gus Baha mengaku menangis sejadi-jadiinya ketika membaca hadis tanda-tanda kiamat yang salah satunya bahwa ilmu itu hilang.
“Saya membaca ini menangis sejadi-jadinya. Setiap teringat hadis ini saya menangis. Saya takut anak cucu kita nanti akan mengalami masa kebodohan,” tuturnya sebagaimana disiarkan kanal Kalam dalam jaringan YouTube, belum lama ini.
Dia mengingatkan, jika ulama seperti dirinya, tidak cerewet bicara masalah hukum nanti orang akan terbalik-balik.
Dia lalu mencontohkan bahwa dalam kasus maksiat juga ada etika. Orang yang nonton konser yang mempertontonkan aurat, jika masuknya membeli tiket, maka dia dianggap penonton yang baik. Sebaliknya, jika tidak pakai tiket, maka dia adalah penonton jelek. “Padahal di mata Allah sama jeleknya karena menonton pornografi,” jelas Gus Baha.
Ilmu itu nanti pasti hilang oleh etika sosial meski dalam etika sosial itu terjadi kebobrokan agama. “Itu yang paling saya takutkan. Nanti kebaikan ada dalam keburukan.”
Menurut Gus Baha, inilah yang dimaksud hadis Nabi bahwa di antara tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan.
Hadis yang dimasud adalah seperti yang dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’”
Hadis ini tercantum dalam Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath, dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi).
“Saya membaca hadis ini menangis,” ucap Gus Baha lagi. “Maka saya bersumpah, sampai mati pun saya akan ngomong ilmu,” lanjutnya.
Gus Baha juga memberi conton lain bahwa nanti ilmu akan kalah dengan etika kemaksiatan.
Definisi pembeli yang baik, katanya, adalah pembeli yang tidak utang, tak perduli pembeli itu mengenakan rok mini, suka maksiat dan seterusnya. “Orang saleh, rajin salat, puasa, jika sering utang maka dia menjadi pembeli yang buruk,” jelasnya.
Ini sama dengan pengurus masjid yang meminta sumbangan kepada seorang pejabat yang korup.Sang pejabat memberi 10 juta, sedangkan orang yang suka itikaf hanya 10 ribu. Makanya pengurus masjid menganggap si pejabat korup itu orang baik. Bukan orang yang gemar itikaf.
Lebih jauh, Gus Baha juga memberi contoh prestasi yang dilakukan seorang kiai dianggap biasa saja. Sedangkan jika itu dilakukan presiden atau menteri menjadi luar biasa. “Padahall mereka itu digaji memang untuk melakukan itu. Sedangkan kiai tidak digaji.”
Kebodohan
Hadis yang disebut Gus Baha tersebut selaras dengan hadis lainnya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.
‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” (Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.
‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’” (Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi).
Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadis ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya.
Sementara yang dimaksud dalam hadis adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni.
Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.”
Kitab Asyraathus Saa’ah karya Dr Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil juga menyebut dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama.
Dijelaskan dalam hadis dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’”
Hadis ini tercantum dalam Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmi, bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmi (I/194, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan (XVI/223-224, Syarh an-Nawawi)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Lihat Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/223-224)
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi SAW, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan.