Bagi gerakan Wahabi, mengikuti ilmu ulama terdahulu sama dengan menuhankannya. Ini syirik. Mereka juga menolak wasilah dan ziarah kubur karena menganggapnya kontra dengan tauhid. Puncaknya, siapapun yang melakukan varian kesyirikan tersebut, jika tidak bertobat, berhak diperangi.
Kesimpulan Nur Khalik dari hasil pembacaan terhadap beragam literatur sangat telak dan berhasil menghakimi Wahhabi sebagai gerakan sesat nan ekstrem. Sedangkan sang pendiri, Muhammad bin Abdul Wahhab, divonis sebagai pribadi yang mentah baik secara psikologis, keilmuan, dan pemahaman keagamaan. Jika ditelaah secara kritis, kesimpulan Nur Khalik Ridwan yang terangkum dalam buku ini juga mentah dilihat dari beberapa hal berikut;
Pertama, Nur Khalik selektif memilih sumber dan pernyataan agar sesuai dengan opini yang hendak dia bangun. Misalnya, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dipengaruhi pribadi dan gurunya, Muhammad Hayat as-Sindi. Nur Khalik bersikeras bahwa Muhammad Hayat as-Sindi tidak memengaruhi pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan berusaha untuk “memungkinkan”, bukan “memastikan” bahwa keduanya adalah guru dan murid (hlm. 35).
Padahal keduanya, menurut Azyumardi Azra, adalah benar-benar guru dan murid. Bahkan Muhammad Hayat as-Sindilah yang menghubungkan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan jaringan ulama. Tentang pengaruh Muhammad Hayat as-Sindi kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Anshari secara tegas berkata, “Muhammad Hayat as-Sindi memberikan pengaruh paling besar atas pandangan-pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab, terutama menyangkut doktrin tauhid, penentangannya terhadap taklid, dan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan hadits (hlm. 265).
Nur Khalik bersikeras untuk tidak melibatkan Muhammad Hayat as-Sindi sebagai tokoh yang memengaruhi Wahhabisme, menurut saya, karena Muhammad Hayat as-Sindi merupakan ulama Hanafi dan salah satu tokoh penting penghubung jaringan ulama.
Kedua, pemaksaan tafsir terhadap kaidah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Misalnya, Nur Khalik menyimpulkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menolak takwil. Padahal, sama sekali tidak ditemukan pernyataan tertulis dari Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa dia menolak takwil. Yang ada hanya statemen bahwa jika ada ayat mutasyabbihat, maka dahulukan pemahaman yang muhkam. Jika yang mutasyabbihat hendak ditafsiri, maka ikutilah tafsiran arraskhuna fil ilmi (hlm. 66).
Begitu juga kesimpulan Nur Khalik bahwa mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab melarang bermazhab, sebenarnya adalah bangunan opini yang dibangun Nur Khalik menanggapi potongan pernyataan Abdullan bin Wahhab bahwa orang Jahiliyah sesat sebab mengikuti pendahulu mereka (hlm. 67).
Ketiga, pemakaian situs internet semacam Wikepedia atau bahkan blog sebagai sumber data. Tentu saja validitasnya perlu dipertanyakan. Salah satu yang banyak menguras lembaran buku ini adalah persoalan Memoirs of Hempher – diambil Nur Khalik dari situs Internet – yang dibahas begitu panjang, penuh kata-kata kasar guna menjelekkan pendiri Wahhabi, dan berisi informasi miring yang sulit dipercaya, termasuk oleh Nur Khalik sendiri. Misalnya, saat Hempher menulis bahwa pendiri Wahhabi itu bodoh dan bebal, lalu tak lama kemudian Nur Khalik menyadari bagaimana orang bodoh bisa membangun basis jaringan kekuatan luar biasa yang bertahan hingga sekarang. Herannya, Nur Khalik nampak menggunakan memoar Hempher sebagai senjata utama untuk menyerang Muhammad bin Abdul Wahhab.
Meski begitu, buku ini tetap mewakili suara Sunni versi NU terhadap Wahhabi yang perlu diapresiasi, sebab ini merupakan kekayaan intelektual. Ketidaksetujuan terhadap pemikiran kelompok tertentu disampaikan secara ilmiah dengan menghidangkan data dan argumen ketidaksetujuannya.
Sangat mengesankan, inilah buku babon satu-satunya di Indonesia yang menyajikan sejarah Wahabi lengkap dengan kajian kritis terhadap karya pendiri gerakan tersebut. Kemampuan linguistis Nur Khalik Ridwan memang layak diajungi jempol. Editor buku ini juga teliti betul, sehingga tak ada masalah dalam teks buku ini.
Kekayaan referensi perlu diperkuat lagi dan juga dipilih yang memiliki tingkat validitas kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan. Referensi dari internet harus betul-betul diperiksa. Lebih aman jika referensi diambil dari jurnal, buku, atau kitab. Juga penting menurunkan kadar aura ketidaksukaan, kekhawatiran, dan pikiran buruk demi menghadirkan iktikad untuk melihat referensi secara lebih objektif. Demikian harapan dari saya sebagai pembaca.
Artikel Asli : islami.co