Kiai Nyentrik dari Madura

  • Share

Salah satu yang saya ingat adalah pertanyaan soal salat. Karena ini sering saya alami. Jika kebetulan saya sedang penelitian, terutama di tempat yang jauh, saya sering bingung. Kalau salat suhur dan asar, karena saya musafir, bisa saya jamak. Masalahnya di perjalanan, kadang di tengah hutan dan dalam kendaraan, dan di  medan-medan tertentu yang tidak memungkinkan saya untuk salat, maka bagaimana saya mesti melaksanakannya?

Atau saya pernah bertanya, bagaimana hukum orang yang tidak salat selama bertahun-tahun. Apakah harus menggantinya atau tidak. Sebelumnya, saya tentu mencari referensi lewat internet. Namun di kalangan para ulama, terjadi perbedaan pendapat. Salah satu tempat saya bertanya tentu saja Yai Faizi. Untuk soal-soal yang seperti itu, tampak sekali otoritasnya sebagai seorang ulama. Dan jawabnnya tegas. Mengganti.

Lalu saya bertanya, wah berat sekali kalau mengganti. Lalu saya bertanya lagi, di masjid Mekah, di dekat Kakbah, kan satu salat setara dengan seribu salat. Apakah bisa diganti dengan model begitu. Dia dengan tegas bilang tidak bisa. Lalu diberilah saya argumen fiqihnya. Cuma dia tahu bahwa saya pasti berat melaksanakannya, maka sesekali dia bilang, “Sudah gini saja, Mas Puthut. Sampeyan sudah tahu hukumnya versi pendapat saya. Mas Puthut mau salat saja sudah bagus. Diteruskan saja itu. Kalau sempat, ya salatnya yang tidak dikerjakan, diganti.”

Dengan cara begitu, saya pikir Yai Faizi terlihat sangat bijak. Dia tidak mau mempermainkan hukum. Tapi juga bisa menyatakan dengan cara tertentu sehingga apa yang sudah baik jangan sampai membuat beban yang masih terasa berat.

Baca juga:  Tak Ada Lagi Racikan Cindil Tikus di Toko Obat Cina di Jogja

Kiai yang takut hantu

Semalam, saya bertemu dengannya di Kafe Main-main, milik Mas Edi Mulyono. Kebetulan, Yai Faizi sedang di Yogya dan akan mengisi acara peluncuran buku puisi terbaru karya penyair Joko Pinurbo. Sampai di Yogya, sudah cukup larut. Saya datang, Kafe Main-main sudah tutup. Tapi Yai Faizi masih menunggu saya. Sebagian besar lampu dimatikan karena memang sudah tutup. Sesuai protokol kesehatan yang berlaku di Yogya. Karena saya kenal baik dengan Mas Edi, saya sangat beruntung bisa disuguh minuman dan penganan. Terbayang kalau misalnya kami ngobrol tanpa minum, sementara saya dan Yai Faizi perokok.

Kiai M Fauzi

Kiai M Faizi. Foto dokumen M Faizi

Kami ngobrol ngalor-ngidul, hingga balik ke topik pengalaman naik bis. Karena saya dulu juga sering naik bis, saya bercerita kalau saya pernah dicopet dan diguna-guna orang. Yai Faizi belum pernah kecopetan. Saya bilang, “Yai, kalau orang suka naik bis tapi belum pernah kecopetan, itu seperti ke Yogya tapi belum pernah makan gudeg atau makan sate klathak.” Dia hanya tertawa saja mendengar lontaran saya.

Terus iseng saya bertanya, pernah enggak, mengalami kejadian mistis di perjalanan. Cocok dengan suasana semalam, lampu temaram, dan gerimis mulai datang.

Yai Faizi bercerita sambil agak takut-takut. Di salah satu daerah di Sulawesi, dia pernah mengalami kejadian yang menakutkan. “Ini saya mau ceritakan, tapi saya tetap takut sampai sekarang,” Yai Faizi bergidik. Saya juga mulai takut. “Saya ndak berani menyebut nama daerahnya ya… Karena saya pernah menuliskan pengalaman saya ini di Facebook, ternyata terhapus. Saya ulangi, dan terhapus lagi. Wih, saya takut sekali.” Lagi-lagi Yai Faizi bergidik. Saya makin takut juga. Tapi penasaran. Saya beruntung karena datang bersama Dodo, teman saya yang kebetulan seorang santri pemberani. Jadi kalau saya pulang tidak merasa terlalu takut.

Berceritalah Yai Faizi, tentu dengan suara pelan dan agak terbata karena merasa takut. Ketika sedang berkeliling di Sulawesi, dia singgah di suatu tempat. Di sana ada kenalannya. Dia disambut sepasang suami-istri, lalu dijamu. Ketika sedang dijamu, karena pernah membaca soal ‘tertentu’ di daerah itu, Yai Faizi menanyakan hal itu. Mendadak si perempuan jadi meracau, semacam kemasukan jin. Semua orang panik, termasuk Yai Faizi. Di antara racauan itu, si jin meminta agar Yai Faizi tinggal di kerajaan jin itu. Yai Faizi tentu saja menolak.

“Nanti sampai rumah, Sampeyan googling kata itu, Mas Puthut… Di sini, saya ndak berani menyebutkan…”

“Lho, kalau Yai Faizi tidak menyebutkan, bagaimana saya bisa menggoogling-nya?”

“O iya, ya… wah gimana ya caranya?”

“Begini saja, Anda kirim sms ke saya soal nama itu. Biar saya googling.”

“Ndak berani saya, Mas. Wong status Facebook saja bisa hilang. Jin itu bisa menghapus status saya.”

Saya antara takut dan penasaran. Tapi saya tidak mungkin memaksa Yai Faizi menyebutkan kata kunci itu.

“Yai, Sampeyan itu kan kiai, masak takut sama jin…”

“Lho kalau pengalaman mistis, saya itu banyak sekali. Tapi khusus yang ini, saya ndak berani cerita…”

“Lha tapi kan saya terlanjur dengar. Kan jadi penasaran…”

“Iya, ya…”

Wajah Yai Faizi tampak bingung. Justru karena itu, saya juga merasa makin takut. Akhirnya pembicaraan saya alihkan ke hal lain, dan tak lama kemudian saya pamitan. Karena saya tahu, Yai Faizi pasti capek. Sebab dia naik mobil bersama rombongan dari Guluk-Guluk, Madura. Perjalanan yang nisbi jauh. Hebatnya, Yai Faizi ini sekalipun sedang di perjalanan, di saat dia harus mengajar, tetap mengajar lewat hape. Jadi dia menelepon pesantrennya, di sana suaranya diperbesar, lalu para santri menyimak. “Makanya, ke mana-mana, saya bawa kitab, Mas Puthut. Bukan karena saya kutu buku, tapi ya karena saya mesti mengajar sekalipun pakai hape.”

Darah mengajarnya memang mengalir dari para leluhurnya. Semua leluhurnya hanya fokus mengajar. Di lingkungannya, bahkan tidak ada yang menjadi mubaligh. “Semua mengajar, tidak ada yang jadi penceramah. Makanya, kalau soal tanggung jawab mengajar, saya ndak bisa tinggalkan.”

Semalam saya pulang dengen menggendong rasa penasaran. Penasaran soal kata kunci cerita seram yang tak berani diucapkan, bahkan oleh sosok seperti Yai Faizi.

Artikel asli : mojok.co

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *