Di suatu masa, hidup seorang saleh, ahli ibadah. Sebut saja Fulan. Ia terbiasa hidup dengan melakukan pengembaraan dari gunung ke gunung. Ia pernah menyatakan bahwa keinginannya hanya satu: bertemu para wali abdal.
FYI, wali abdal adalah satu tingkatan tertentu dalam dunia wali. Hanya orang-orang khusus dan memiliki derajat tertentu saja yang bisa mengetahui keberadaan mereka. Bahkan, dikatakan hanya mereka yang sederajat saja yang bisa mengetahui seseorang itu wali atau bukan (laa ya’riful wali illa wali).
Fulan, pada suatu ketika berada di suatu pantai. Sepi sekali. Tak pernah ada orang di pantai itu. Juga tak pernah ada kapal singgah di sana. Tiba-tiba, Fulan melihat seseorang turun dari gunung. Ia merasa aneh. Ketika mengetahui bahwa Fulan melihatnya, orang tersebut lari menghindar. Kembali ke gunung.
Fulan mengejarnya. Beberapa waktu kemudian, entah karena apa, orang tersebut jatuh. Fulan pun berhasil mendekatinya. Fulan berkata, “Kamu siapa?”
Orang tersebut diam seribu bahasa. Sama sekali tak menjawab pertanyaan yang diajukan Fulan.
“Aku sangat ingin kebaikan. Apakah engkau berkenan memberiku satu nasihat?,” tanya Fulan lagi.
Kali ini, orang tersebut berkenan menjawab. Ia menasihati, “Dimana pun berada, hendaknya kamu selalu istikamah dalam kebaikan.”
Orang tersebut sangat rendah hati. Ia melanjutkan perkataannya dengan menjelaskan bahwa dirinya bukanlah orang yang baik sehingga berhak dan pantas menyuruh Fulan untuk melakukan suatu kebaikan yang telah ia lakukan.
Selepas menjelaskan itu, ternyata ajalnya tiba. Ia meninggal dunia setelah sebelumnya menjerit dan terjatuh. Fulan bingung. Dengan kesendiriannya, ia merasa tak sanggup berbuat apa-apa terkait jenazah itu. Jasad orang tersebut dibiarkannya begitu saja. Hingga malam tiba. Fulan mencari tempat untuk istirahat.
Rasa kantuk tiba. Fulan tidur. Malam itu, ia bermimpi suatu hal yang aneh. Empat orang turun dari langit dan mendekati jenazah yang ditinggalkan Fulan itu. Mereka menggali kubur dan mengurus jenazah tersebut. Jenazah pun selesai dikuburkan.
Apa yang dilihatnya itu ternyata membuat Fulan kaget. Ia pun terbangun. Dan tak bisa tidur lagi setelahnya. Malam itu ia begadang.
Pagi tiba. Fulan pergi ke tempat jezanah yang ia tinggalkan sebelumnya. Aneh, jenazah itu hilang. Tak ada. Ia mencari kesana kemari. Tak ketemu juga. Akhirnya, ia menemukan ada sebuah kuburan baru. Fulan menduga keras bahwa itulah kuburan yang dilihatnya dalam mimpi semalam.
Kisah ini penulis baca dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini kita bisa mengambil banyak hikmah. Salah satunya adalah jati diri seseorang bisa dilihat dari setiap hal yang ia inginkan.
Terbaca di awal kisah, Fulan ingin sekali bertemu dengan wali abdal. Hingga akhirnya keingiannya tercapai. Keinginan Fulan cenderung bisa digunakan untuk menganalisis dan mengetahui siapa sebenarnya dia. Dari keingiannya itu, bisa ditebak bahwa Fulan adalah juga wali abdal.
Dalam konteks kekinian, kita bisa menebak kualitias orang lain dari tulisan, gambar, atau video yang diunggah di media sosial. Jika ada orang yang sering menulis atau mengunggah berita/isu terkait ekonomi, maka dipastikan ia sedang suka atau memang ahli ekonomi. Begitu juga dengan bidang lain. Politik, kesehatan, agama, dan seterusnya.
Untuk mendapatkan informasi terkait kondisi mental seseorang, cara yang digunakan para ahli adalah dengan mencermati dan meneliti status, catatan, dan apa saja yang dibagikan orang tersebut di akun media sosial mereka. Begitu kurang lebih dilansir BBC News Indonesia.
Walhasil, meski tidak sepenuhnya benar, namun apa yang seseorang pikirkan, inginkan, katakan, bagikan/unggah/posting di media sosial, menunjukkan siapa sesungguhnya orang tersebut dan bagaimana kondisi kejiwaan, mental, dan jatidirinya. Itulah mengapa, di beranda, Facebook selalu bertanya, “Apa yang Anda pikirkan?”.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.
Artikel asli : islami.co